Public Housing, Solusi Masalah Perumahan di Indonesia
Oleh Adi Permana
Editor Vera Citra Utami
BANDUNG, itb.ac.id--Kota-kota di Indonesia yang mengalami arus urbanisasi tidak terkendali menimbulkan berbagai masalah pada penyediaan perumahan. Luas area permukiman kumuh yang kian meningkat dan angka kekurangan suplai rumah (housing backlog) yang meninggi merupakan beberapa di antara konsekuensinya.
Merespons permasalahan tersebut, Sekolah Arsitektur Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan (SAPPK) ITB menyelenggarakan webinar dengan tema “Keterjangkauan Perumahan: Mencari Jembatan Antara Kebijakan dan Kenyataan” pada Kamis (9/12) via Zoom Meeting. Webinar ini termasuk ke dalam seri webinar SAPPK yang ketujuh yang kini menghadirkan pembicara-pembicara dari Kelompok Keahlian Perumahan dan Permukiman SAPPK ITB.
M. Jehansyah Siregar, Ph.D. sebagai salah satu pengisi materi menyinggung mengenai program public housing yang digadang-gadang sebagai solusi atas permasalahan perumahan di Indonesia. Pembahasan ini dipresentasikan olehnya dengan judul “Tantangan Implementasi Program Public Housing di Indonesia: Pelajaran dari Singapura dan Jepang”.
Public housing merupakan praktik intervensi langsung dari pemerintah dalam bidang penyediaan perumahan yang telah banyak dijalankan dengan baik di negara-negara di Asia. Di Indonesia, program public housing ternyata belum tersedia. Pemerintah banyak menyediakan program social housing dan commercial housing seperti Rusunawa yang mendekati program public housing, tetapi sayangnya belum berkembang dengan baik.
Sejauh ini, program pengadaan rumah tapak subsidi sederhana pun semakin mahal, tidak terjangkau, dan semakin menjauh dari pusat kota. Kawasan metropolitan Jakarta yang semakin besar menyebabkan ketersediaan rumah tapak subsidi tersebut semakin jauh dari pusat kota. Hal ini menjadi paradoks tersendiri mengingat kebutuhan hunian yang tinggi justru berada di pusat kota. Ketidaksinambungan antara kebutuhan dan suplai tersebut berdampak pada bertumbuhnya kawasan kumuh di pusat kota.
Oleh karena itu, diperlukan perhatian khusus untuk mengatasi masalah tingkat keterjangkauan perumahan (housing affordability) bagi masyarakat. Housing affordability merupakan kemampuan untuk menjangkau hunian, baik dalam bentuk kepemilikan rumah atau apartemen maupun sewa rumah atau apartemen. Masalah ini perlu diatasi dengan diperlukannya kebijakan perumahan rakyat yang memadai.
Public housing sebagai bentuk dari kebijakan perumahan rakyat merupakan jawaban terhadap masalah urbanisasi dan masalah perumahan perkotaan terutama di Singapura dan Jepang. Pemerintah Singapura menyediakan public housing yang dibangun oleh HDB (Housing Development Board) dengan tipe apartemen tinggi dan berstandar minimal supaya dapat dijangkau 80% penduduknya. Public housing ini disubsidi oleh pemerintah tetapi terdapat mekanisme pengendalian yang ketat untuk menghindari kesalahan sasaran, pembangunan pada lokasi yang kurang baik, serta pengelolaan yang buruk.
Penelitian SCAPPE (Singapore Centre for Applied and Policy Economics) pada tahun 2016 menunjukkan bahwa rasio keterjangkauan public housing di Singapura menunjukkan angka yang kecil, yaitu di bawah 0.3. Hal ini berkebalikan apabila dibandingkan dengan rasio keterjangkauan private housing yang justru banyak terdapat di atas 0.3.
"Singapura dulu sama seperti Jakarta, masih banyak pemukiman kumuhnya. Akan tetapi dengan perkembangan program public housing yang progresif tadi, sekarang sudah zero kumuh (city without slums),” ujarnya.
Dengan demikian, affordable housing bukan lagi menjadi masalah bagi Singapura karena perumahan rakyat memainkan peran penting dalam mewujudkan masyarakat yang modern dan sejahtera serta pembangunan perkotaan yang berkelanjutan. Public housing di Singapura juga ternyata menjadi instrumen pembangun karakter kebangsaan. Program perumahan rakyat tersebut bukan hanya membangun fisik hunian, tetapi juga membangun karakter sosial masyarakatnya.
"Public housing di Indonesia tidak bisa ditunda lagi dan harus diterapkan secara konsekuen. Urbanisasi yang cepat dan tumbuhnya kota-kota metropolitan baru yang berpotensi mengulangi kegagalan mengelola urbanisasi oleh kota-kota pendahulunya, seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, dan Medan," tukas M. Jehansyah di akhir pemaparannya.
Reporter: Achmad Lutfi Harjanto (Perencanaan Wilayah dan Kota, 2020)