Rekonstruksi Paradigma terhadap EBT demi Wujudkan Cita-Cita Indonesia Swasembada Energi

Oleh Fatimah Larassati

Editor Fatimah Larassati

BANDUNG, itb.ac.id - Bahasan seputar energi seakan tak habis-habisnya menjadi topik perbincangan. Wajar saja hal ini terjadi mengingat sekarang energi telah menjadi kebutuhan dasar bagi manusia, baik untuk kelangsungan hidup sehari-hari maupun untuk kegiatan ekonomi dan pembangunan. Pesatnya perkembangan ekonomi dan pembangunan otomatis membuat permintaan energi juga meningkat dan diprediksi grafik permintaan energi nasional masih akan terus naik pada kisaran rata-rata 4-5% per tahun hingga 20 tahun mendatang.

Sayangnya, energi masih dianggap sebagai komoditas dagang dan sumber pendapatan negara. Tak heran ujung-ujungnya kekayaan bangsa dikeruk untuk dijual ke asing semata-mata dengan mengatasnamakan peningkatan devisa negara. Padahal, di tengah permintaan dalam negeri yang semakin tinggi dan sikap pemegang otoritas yang terlena dengan keuntungan jangka pendek, masih banyak tempat di berbagai penjuru tanah air ini yang masih gelap gulita tak tersentuh listrik akibat tidak meratanya persebaran energi dan kekayaan pertiwi yang tak dinikmati oleh rakyat sendiri.

Berangkat dari realita mengenaskan inilah perlu adanya perubahan paradigma mengenai hakikat dari pemanfaatan sumber energi yang dikandung negeri ini. Seluruh elemen yang mengkonstitusi negara ini harus sepakat bahwa sumber energi seharusnya menjadi nilai tambah untuk Indonesia untuk pemerataan pembangunan. Implikasinya adalah sumber daya yang ada kembali pada hakikatnya yakni dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat Indonesia.

 

Pengarustamaan EBT dan Lika-Likunya

Indonesia masih bergantung dengan sumber energi fosil untuk pemenuhan kebutuhan energi nasional, sedangkan ketersediaan sumber daya ini tidak tak terbatas. Status importir minyak bumi yang disandang oleh Indonesia saat ini pun semakin membuat rentan ketersediaan pasokan energi sehingga perlu adanya strategi untuk menyikapi keadaan demikian. Salah satunya adalah melalui kebijakan pengarustamaan Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) yang dicanangkan oleh pemerintah. Pada dasarnya kebijakan ini mengarahkan masyarakat pada penggunaan sumber daya energi non-fosil yang ketersediaannya berlimpah serta agar penggunaan energi pun lebih hemat. Selain dari bentuk pengejawantahan undang-undang, kebijakan ini juga merupakan perwujudan kontribusi Indonesia sebagai bagian dari masyarakat dunia sebagaimana termaktub dalam kesepakatan Paris Agreement untuk berpartisipasi untuk mencegah agar suhu permukaan bumi tidak naik lebih dari dua derajat celcius.

Demi memenuhi komitmen tersebut, beberapa langkah diambil pemerintah antara lain reformasi manajemen ekonomi yang dapat dilihat dari pengurangan subsidi untuk dialihkan ke pembangunan serta pengupayaan target 23 persen bauran energi primer nasional berasal dari EBT pada tahun 2025 mendatang. Khusus untuk target bauran energi EBT, selain pemanfaatan surya, angin, panas bumi, dan air, arahan alihfungsi sampah dan limbah sawit menjadi sumber energi pun juga digalakkan oleh pemerintah.

Harus diakui bahwa pengalihan penggunaan sumber energi dari konvensional ke EBT tak semudah membalikkan telapak tangan. Tak seperti negara-negara lain di luar sana yang sejak lama telah  menggunakan angin, air, panas bumi, dan sumber non-konvensional lainnya, sumber energi EBT terhitung baru di Indonesia. Minimnya teknologi dan operator ahli untuk menyokong keberlangsungan proyek EBT alhasil membuat harga pengoperasian EBT relatif lebih tinggi dibandingkan dengan sumber energi konvensional seperti minyak bumi. Struktur pembiayaan proyek EBT yang unik pun otomatis membutuhkan investasi yang stabil untuk memastikan kelangsungannya.

Akan tetapi, kondisi-kondisi tersebut tidak serta merta membuat penerapan EBT di Indonesia  mustahil. Justru disinilah peran dari pemerintah dan pihak terkait lainnya sangat dibutuhkan. Langkah awal dapat dimulai dari hal-hal sederhana, misalnya publikasi ke masyarakat umum tentang urgensi masa depan dari EBT kelak bukan hanya sekedar 'alternatif'. Pemerintah dan industri pun selayaknya menjadi konsumen pertama dari pemakaian EBT ini sebelum digunakan secara komersil oleh masyarakat. Langkah ini ditujukan agar selain membantu ketahanan EBT, pemerintah dan industri juga menjadi wajah terdepan inisiator untuk mewujudkan Indonesia yang mandiri energi serta bebas dari jerat impor dan ketergantungan energi pada asing.

Tak kalah pentingnya dalam penerapan kebijakan EBT ini adalah peranan institusi pendidikan dan akademisi Indonesia terutama dalam menjawab tantangan terbesar di penyediaan teknologi dan duplikasi tenaga ahli yang kompetitif. Pun perlu disadari bahwa selain sebagai motor inovasi dalam pengembangan dan penelitian terkait EBT, perguruan tinggi selayaknya punya andil terutama dalam menyuarakan pendapat dan pertimbangan dalam pengelolaan regulasi terkait EBT. Gerak sinergis dan konsistensi dari berbagai pihak ini kelak tak hanya menghasilkan ketahanan energi yang berkelanjutan bagi Indonesia, tetapi juga kedaulatan utuh menuju swasembada energi untuk kebutuhan nasional yang telah lama dicita-citakan oleh bangsa ini.


scan for download