Rencana Skenario dalam Merencanakan Kebijakan di Sektor Energi dan Transportasi
Oleh Adi Permana
Editor Adi Permana
BANDUNG,itb.ac.id-- Sektor energi dan transportasi menjadi salah satu sektor yang terdampak wabah COVID-19. Hal ini menyebabkan terjadinya ketidakpastian dalam proses pembuatan kebijakan. Dalam menghadapi ketidakpastian tersebut, pemerintah dapat menggunakan rencana skenario untuk membuat perencanaan masa depan dan implikasi strategis yang perlu diambil.
Satu tahun kabinet Jokowi-Ma’ruf Amin, Sekolah Bisnis dan Manajemen (SBM)-ITB melalui Center for Policy & Public Management (CPPM) memberikan rumusan rekomendasi kebijakan di sektor energi dan transportasi yang dipaparkan melalui webinar yang bertajuk “ Quo Vadis Satu Tahun Kabinet Indonesia Maju: Bagaimana Skenario Energi dan Transportasi di Masa Depan?” yang diadakan pada Kamis (15/10/2020).
“SBM-ITB terus berupaya menyelesaikan masalah lokal dan global salah satunya melalui riset,” imbuh Dekan SBM Prof. Utomo Sarjono Putro dalam sambutannya. Ia menambahkan bahwa salah satu misi dari SBM-ITB adalah mengembangkan dan mendiseminasikan pengetahuan untuk dunia usaha, pemerintah, dan masyarakat terutama di situasi pandemi ini di mana penuh dengan ketidakpastian. Guru besar ilmu keputusan dan negosiasi ini berharap adanya kolaborasi antara pemangku kepentingan dan tidak ada lagi sekat-sekat yang memisahkan serta tercipta solusi.
Sebagai pembuka paparannya, pakar energi Ahmad Yuniarto menjelaskan bahwa rencana skenario (scenario planning) adalah sebuah hipotesis yang konsisten tentang masa depan yang relevan, jelas, menantang, dan masuk akal. Sehingga ini bukanlah sebuah ramalan, prediksi, atau cerita yang harus terjadi. Dengan adanya rencana skenario ini dapat menjadi rumusan bagi Presiden Joko Widodo dalam menyusun kebijakan di tahun pertama Kabinet Indonesia Maju yang berguna untuk 4 tahun ke depan.
Ia memaparkan, sektor iklim hulu migas di Indonesia dipengaruhi oleh dua faktor yakni pengelolaan pandemi dan konsolidasi industri. Dari faktor tersebut, peneliti CPPM ini merumuskan tiga skenario terhadap hulu migas Indonesia hingga 2023. “Skenario ini dinamakan VisiPetro yakni skenario puting-beliung, skenario musim-barat, dan skenario pancaroba,” ucapnya.
Ahmad Yuniarto menjelaskan bahwa skenario puting-beliung terjadi jika dampak pandemi tidak terkendali dan industri hulu migas cerai berai. Meskipun pandemi terkendali, jika industri hulu migas jalan di tempat maka yang terjadi adalah skenario berikutnya yaitu musim barat. Dalam paparannya Yuniarto berharap yang terjadi di Indonesia adalah skenario pancaroba di mana pandemi berjalan dengan baik serta industri hulu migas menata asa. “Diharapkan skenario yang disusun oleh 16 pakar ini bermanfaat bagi pemerintah terutama sektor ESDM,” tutur Yuniarto.
Peneliti selanjutnya, Agung Wicaksono juga memaparkan skenario di bidang transportasi publik. Mantan Direktur Utama Transjakarta ini mengatakan bahwa skenario Gridlock terjadi ketika situasi pandemi berlanjut lebih dari satu tahun, namun kepercayaan masyarakat terhadap transportasi publik terus mengalami penurunan. Di sisi lain, jika pandemi lebih dari satu tahun sedangkan kepercayaan masyarakat terhadap transportasi publik telah pulih, maka skenario yang bisa diambil adalah skenario busway. Dan yang terakhir, adalah skenario highway di mana tidak terjadi hambatan. “Skenario ini seperti di jalan tol bebas hambatan, karena pandemi bisa kurang dari satu tahun,” tambahnya.
Dari skenario tersebut, Agung Wicaksono menyebutkan bahwa kunci utama dalam penanganan kasus transportasi umum di kala pandemi ini adalah kemampuan dari pemerintah dalam penanganan dan kemampuan dari operator dalam mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap keamanan dan keselamatan transportasi umum.
Dalam paparannya, Agung memberikan saran dengan menerapkan konsep IDE (Integrasi-Digitalisasi-Elektrivikasi) dalam menghadapi tren transportasi publik modern ke depannya. Selain itu, Agung juga menyarankan untuk diterapkan skema BTS (Buy-The Service) di mana pemerintah membayar layanan operator angkutan umum dengan skema Rupiah per Kilometer sesuai Standar Pelayanan Minimum (SPM) di mana sistem ini telah berhasil dijalankan oleh Transjakarta.
Reporter: Deo Fernando (Kewirausahaan, 2019)