Seminar Hari Meteorologi Dunia 2005 : Membangun Bangsa, Bersahabatkan Iklim dan Cuaca

Oleh

Editor

Menyambut Hari Meteorologi Dunia, Departemen Geofisika dan Meteorologi ITB bekerjasama dengan Kyoto University Active Geosphere Investigation for the 21 first century (KAGI 21) dan BMG, mengadakan seminar sehari bertopik "Cuaca, Iklim, Air dan Pembangunan Berkelanjutan" bertempat di Labtek Biru ITB, Senin 4 April 2005. Seminar ini mengulas dunia meterologi, sejarah, teknologi dan tantangan pembangunan berkelanjutan Indonesia. Hadir dalam seminar ini Guru Besar Meteorologi Fisik Bayong Tjasyono HK yang membahas tentang peran benua maritim Indonesia terhadap cuaca dan iklim global. Dalam pemaparannya, beliau menjelaskan karakteristik iklim Indonesia dan kompleksitas atmosfernya yang memiliki keunikan tersendiri. Ditambah lagi benua maritim Indonesia memberikan pengaruh besar terhadap iklim global. Sehingga tantangan bagi ilmuwan dan peneliti Indonesia untuk mengenalnya lebih jauh, memodelkan prediksi cuaca dan iklim dengan tingkat ketelitian yang lebih tinggi. Mengenai teknologi meteorologi yang berkembang, Tri Wahyu Hadi dari Departemen Geofisika dan Meteorologi ITB mengulas sejarah perkembangan ilmu meteorologi. Sejak zaman aristoteles hingga teknologi komputasi dalam pemodelan dan prediksi. Meteorologi adalah ilmu yang menggabungkan matematika, fisika, termodinamika, aerodinamika, ilmu komputer dan disiplin ilmu lainnya termasuk gejala sosial yang muncul akibat perubahannya. Disampaikan pula strategi pengembangan model cuaca numerik regional sebagai salah satu teknologi yang terus dikembangkan untuk pemanfaatan informasi meteorologi di Indonesia. Turut mengisi seminar sehari tersebut dari Bidang Pemodelan Iklim LAPAN, Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim, Bambang Siswanto dan Halimurrahman, mengemukakan peran penting iklim dalam kemakmuran dan ketahanan nasional. Bagian yang tidak terpisahkan ini juga sedang dikembangkan oleh LAPAN dengan fokus pada model area terbatas untuk studi iklim Indonesia. Pemahaman terhadap aplikasi model iklim di dunia sangat penting untuk diperhatikan. Peneliti di kawasan berbeda tentunya mengembangkan model dengan karakteristik wilayah masing-masing. Dengan karakteristik yang ada di Indonesia, aplikasi model yang berkembang di dunia saat ini perlu di validasi sehingga dapat di aplikasikan dengan baik. 2 model yang sudah teruji validasinya sedang dikembangkan LAPAN saat ini adalah AGCM (Atmosfheric General Circulation Model) CSIRO 9 dan DARLAM (Division Atmosfheric Research Limited Area Model). Di sesi lain, berbicara tentang pembangunan berkelanjutan, Armi Susandi dari Departemen Teknik Geofisika dan Meteorologi, mengulas proyeksi emisi karbon di Indonesia dalam skenario dasar dan skenario mitigasi berdasarkan konsumsi energi fosil di Indonesia. Meningkatnya konsentrasi karbondioksida menyebabkan perubahan iklim secara global lebih panas. Akibat fisik dan efek langsung pada manusia menjadi penentu dalam mengambil langkah jangka panjang pembangunan berkelanjutan Indonesia. Selain itu Potensi hutan yang dimiliki Indonesia sebagai Clean Development Mechanism (CDM) merupakan ujung tombak dalam menangkal perubahan iklim global. Aset hutan yang mampu menyerap karbondioksida juga diproyeksikan mampu mendatangkan keuntungan 12 miliar US dolar per tahun diakhir abad 21. Selain itu potensi 70 persen lautan Indonesia juga mampu menyerap karbondioksida dalam skala besar. Tantangan bagi para peneliti dan ilmuwan untuk meningkatkan posisi tawar indonesia dalam perundingan perdagangan emisi internasional. Namun di sisi lain, Indonesia juga harus menyiapkan rencana jangka panjang menghadapi pertengahan abad 21. Sebuah studi tentang akibat dari perubahan iklim global memproyeksikan penurunan kesehatan masyarakat mencapai titik tertinggi pada tahun 2060. Dan setelah itu akan menurun dengan meningkatnya konsumsi bahan bakar bebas emisi pada akhir abad 21