Studium Generale: Katakan Tidak pada Masyarakat Terpelajar yang Koruptif

Oleh Bayu Septyo

Editor Bayu Septyo

BANDUNG, itb.ac.id - Berperang dengan korupsi bak menghitung butir pasir di pantai, seperti tak ada habisnya. Uniknya, perilaku pidana ini seringkali bukan dilakukan sembarang orang melainkan oleh mereka yang pernah mengenyam pendidikan tinggi. Masyarakat terpelajar yang harusnya menjadi pelita bangsa justru menggembosi kemakmuran negara dengan alasan-alasan yang seringkali tidak perlu dikambing-hitamkan. Menanggapi tren ini, ITB secara preventif menggelar Studium Generale bertajuk "Menyiapkan Alumni ITB Sebagai Calon Pemimpin Bangsa Anti Korupsi" yang langsung diberikan oleh Ir. Betty Alisjahbana pada Rabu (25/11/15) di Aula Barat kampus Ganesha. Ketua Majelis Wali Amanat yang juga aktif sebagai Panitia Seleksi (Pansel) Ketua KPK periode mendatang ini berbagi pengalaman kepemimpinan yang pernah ia perjuangkan saat menjabat di beberapa perusahaan besar sepanjang karirnya.

Beridiri di hadapan banyak mahasiswa yang hadir, Betty menegaskan perlunya figur pemimpin bangsa yang memandang sikap anti korupsi sebagai harga mati. Vokalnya Betty dalam memerangi korupsi bukanlah tidak berdasar, pasalnya alumni ITB ini tercatat sudah beberapa kali menjabat sebagai pimpinan dalam sebuah korporasi besar salah satunya di IBM ASEAN. Sebelum mampu memerangi korupsi, Ia menilai perlu adanya pemahaman yang baik terkait esensi kepemimpinan itu sendiri. "Memimpin adalah menginspirasi," buka Betty dalam pemaparannya.

Pemimpin hanya akan sukses jika dapat melahirkan rasa kepercayaan yang timbal balik. Trust semacam ini dapat dipelihara apabila pemimpin memiliki tiga hal wajib dalam memimpin yaitu komunikasi, karakter dan kompetensi. Kombinasi bagian tersebut akan memampukan pemimpin dalam membuat segenap tim berkomitmen penuh atas kemauan sendiri untuk mencapai tujuan organisasi. Tidak lupa, Betty juga mencontohkan pengaplikasian leadership dari pandangan Ki Hajar Dewantara yang harus proaktif menempatkan dirinya dalam memimpin baik dari belakang, tengah maupun di depan timnya. Tentu dengan segenap kemampuan yang dimilkinya. "Kemampuan kepemimpinan semakin dipraktikan akan semakin meningkat," tutur Betty.

Memahami diri seorang pemimpin saja rasanya belum cukup. Etika dan integritas serta nilai kepemimpinan tidak akan menajam jika pemimpin tak tahu bagaimana ia harus berperan dan menentukan orientasi. Terlepas dari kehebatan seorang pemimpin, Betty mengakui cobaan untuk terus berpegang teguh pada kebenaran akan selalu ada. "Setiap saya ditempatkan dalam posisi baru, akan juga ada orang-orang baru yang menawarkan jalan-jalan pintas untuk sebuah proyek," tukas Betty.  Ketegasan menolak disertai edukasi kepada mereka yang mencoba Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) selalu menjadi pilihan favorit Betty, tanpa perlu mengkhawatirkan ketiadaan proyek untuk perusahaan yang dipimpinnya. Oleh karena itu, membangun reputasi dan perusahaan bukanlah suatu hal yang mudah. Oleh karenanya, meniru ucapan Tedy Rachmat, Betty menyerukan mental profesional yang tahan banting, "kalau jatuh sepuluh kali, bangunlah sebelas kali".

Menutup paparannya, Betty memberikan titik besar pada pernyataannya, "lebih utama bagi kita untuk lurus selamanya agar tidak dapat terperangkap dan diperkarakan oleh siapapun". Ia menilai godaan tidak pernah datang sekali, sehingga menyempatkan diri berbuat Tipikor akan mengundang Tipikor lainnya. "Pemimpin selalu memiliki akses terhadap segala sumber daya organisasinya," ungkap Betty. Oleh karenanya, ia mengajak segenap mahasiswa untuk mulai konsisten bertindak benar walaupun itu adalah hal kecil. "Ketika kita tidak henti-hentinya berbicara dari hal kecil, kita akan mulai berbicara hal-hal besar," ujar Betty.