Surna Tjahja Djadiningrat Berbicara Tentang Moratorium Pertambangan
Oleh alitdewanto
Editor alitdewanto
UD 1945 Bab XIV, Kesejahteraan Sosial Pasal 33 Ayat (1) dan (3) mengamanatkan bahwa: "Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara" dan "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat".
Kegiatan pertambangan yang marak di berbagai wilayah di Pulau Kalimantan yang mengabaikan good mining practice merupakan fenomena pengabaian UUD 1945.
Pulau Kalimantan sedang dalam proses penggurunan, sebagai akibat keserakahan generasi masa kini sehingga mengabaikan kesempatan generasi masa depan untuk memanfaatkannya.
Data menunjukkan bahwa para bupati di daerah tambang batu bara beramai-ramai mengeluarkan izin pertambangan baru, khususnya yang berskala kecil. Kuasa pertambangan (KP) batu bara luasannya bervariasi, mulai dari hanya belasan hektar hingga lebih dari tiga ribu hektar.
Dokumen formalitas
Dalam izin KP yang diterbitkan bupati/wali kota memang dicantumkan titik koordinat areal KP dan ditembuskan ke Menteri Pertambangan dan ESDM dan Gubernur. Namun, kemungkinan besar tembusan dari izin KP tersebut tidak dikirimkan sebagaimana seharusnya. Izin KP diawali dengan penerbitan SKIP (surat keputusan izin peninjauan) lapangan, kemudian izin eksplorasi I dan, bila waktu tidak cukup, ada izin eksplorasi II, izin eksploitasi, izin angkutan, dan izin penjualan. Sebelum izin KP ditandatangani bupati/wali kota memang ada kewajiban pemohon membuat analisis mengenai dampak lingkungan (amdal).
Namun, amdal yang begitu penting untuk mengendalikan dampak lingkungan hanya merupakan dokumen formalitas belaka. Hampir tidak ada tenaga ahli dan waktu bagi pejabat di badan lingkungan hidup untuk benar-benar meneliti dan melakukan kajian lapangan dan, ironisnya, banyak kasus di mana pemohon KP dengan keahlian lobi dan kedekatan dengan kepala daerah mampu mendikte pejabat di badan lingkungan hidup untuk mempercepat proses dokumen amdal.
Sebelum proses penerbitan izin KP ditandatangani bupati/wali kota, seharusnya instansi pertambangan menetapkan status areal penambangan batu bara. Namun, kenyataannya, banyak terjadi kesemrawutan atau tumpang tindih, antara lain dengan sesama KP, tumpang tindih dengan PKP2B, hutan lindung, kawasan konservasi, dan lain sebagainya.
Kebanyakan eksploitasi batu bara di lahan KP tidak dilaksanakan dengan suatu rencana kerja, baik eksploitasi, reklamasi maupun penghijauan.
Digali dan tanah kupasannya dibuang di sejumlah tempat, seperti sungai dan kawasan resapan air, sehingga menimbulkan berbagai permasalahan kerusakan dan pencemaran lingkungan.
Proses kehancuran Pulau Kalimantan bukanlah fenomena alam, tetapi ulah manusia, khususnya manusia yang dipercaya oleh masyarakat untuk mengelola kepentingan mereka.
Kejadian ini merupakan akibat dari euforia otonomi daerah yang mengabaikan good governance (tata kelola yang baik) dan clean government (pemerintahan yang bersih) sehingga menimbulkan kegagalan kebijakan (policy failure) dan kegagalan kelembagaan (institutional failure).
Satu-satunya cara
Karut-marut ini tidak dapat didiamkan atau bahkan dibenarkan oleh kita yang masih percaya pada UUD 1945 sebagai landasan berbangsa dan bernegara.
Tak ada cara lain kecuali melakukan perombakan mendasar pada kebijakan, pelaksanaan, dan pengelolaan pertambangan di Indonesia. Perombakan mendasar harus dimulai dari kemauan politik pimpinan negara kita tercinta.
Tidak ada cara lain untuk berani melakukan moratorium (penghentian sementara) kegiatan pertambangan, khususnya pertambangan batu bara dengan status KP, sambil memperbaiki seluruh kebijakan, pelaksanaan perizinan, pengawasan, dan pengendalian dari aparatur pertambangan serta memaksa kegiatan pertambangan melaksanakan good mining practice.
Banyak yang pesimistis dan menganggap bahwa moratorium kegiatan pertambangan adalah cita-cita yang sulit digapai dan mustahil dilaksanakan oleh pemerintah di kala iklim birokrasi masih mengabaikan good governance dan clean government.
Akan tetapi, moratorium pertambangan sambil membenahi aspek kebijakan, perizinan, pelaksanaan dan pengendaliannya merupakan satu-satunya cara untuk menjadikan sumber daya alam yang kita miliki dapat dimanfaatkan untuk generasi masa kini tanpa mengabaikan generasi masa depan untuk dapat memanfaatkannya, dan menjadikan UUD 1945 bukan hanya dokumen tertulis (dead letter law), tetapi benar-benar menjadi landasan kita berbangsa dan bernegara.
Sumber: Kompas
Foto: www.sbm.itb.ac.id