Talkshow Nobel Prize Fisika 2022: Pembelajaran Tentang Budaya dan Pengembangan Riset di Indonesia
Oleh Adi Permana
Editor Adi Permana
BANDUNG, itb.ac.id — Talkshow Nobel Prize Fisika 2022 digelar secara hybrid di Ruang Rapat FTI Gedung Labtek V Lantai 1 serta Zoom Meeting pada Jumat (14/10/2022). Acara tersebut bertujuan untuk mengulik lebih dalam mengenai budaya riset dan pembelajaran dari peraih Nobel Fisika tahun 2022.
Dalam talkshow tersebut hadir pula tiga guru besar ITB sebagai pembicara, yaitu Prof. Hermawan K. Dipojono (FTI), Prof. Andriyan B. Suksmono (STEI), Prof. Freddy P. Zen (FMIPA).
Penghargaan Nobel Fisika tahun 2022 diraih oleh Alain Aspect (Perancis), John F. Clauser (Amerika), dan Anton Zeilinger (Austria) yang diumumkan langsung oleh Akademi Ilmu Pengetahuan Kerajaan Swedia di Stockholm pada tanggal 4 Oktober lalu. Ketiganya meneliti tentang efek mekanika kuantum pada dua partikel yang saling terjerat (entangled) selama kurang lebih tiga puluh tahun.
Penemuan mereka ini berhasil menjelaskan bahwa apa yang terjadi pada salah satu partikel dalam pasangan terjerat menentukan apa yang terjadi pada partikel lain, sekali pun mereka berjauhan. Dengan penemuan ini, mekanika kuantum memasuki babak baru untuk pemanfaatan yang belum pernah terbayangkan sebelumnya.
Menurut Prof. Freddy, kesuksesan seperti yang diraih oleh Aspect, Clauser, dan Zeilinger berakar dari konsistensi yang sudah menjadi ruh dalam budaya riset mereka. Suatu riset fundamental yang dilakukan terkadang butuh waktu bertahun-tahun bahkan puluhan tahun untuk menyelesaikannya. Konsistensi seorang ilmuwan merupakan modal utama bagi terbentuknya ilmu pengetahuan baru. Selain itu Prof. Hermawan juga menambahkan bahwa keberhasilan dalam mendapatkan nobel adalah salah satu fenomena yang berawal dari mimpi besar.
“Pada dasarnya kita harus membangun mimpi, terutama untuk yang muda-muda. Sebab kalau yang bermimpi pun tidak ada ya sudah tamat kita. Tapi kalau ada yang bermimpi, itu bisa jadi (berhasil meraih nobel). Kuncinya yaitu curiosity, rasa ingin tahu, dan berani bermimpi,” ujarnya.
Realitanya di Indonesia, gap riset nasional dengan riset kelas dunia seperti halnya riset yang menghasilkan nobel masih sangat jauh. Hal ini menurut Prof. Hermawan, salah satunya disebabkan rendahnya curiosity dalam diri masyarakatnya. Padahal dari segi peluang, Indonesia sangat terbuka lebar karena di dalamnya merupakan gudang permasalahan.
Meskipun begitu, Prof. Andriyan mengakui bahwa riset di Indonesia telah banyak mengalami perkembangan baik dari segi pembiayaan maupun output yang dihasilkannya. Rintisan riset di Indonesia memerlukan akses yang luas terhadap informasi mutakhir dan berkelas sebagai sumber rujukan serta inspirasi. Selain itu, penciptaan dan pengembangan grup riset yang produktif juga penting untuk diperhatikan sebagai suatu lingkungan yang mendukung pembelajaran maupun penemuan hal-hal baru.
Prof. Andriyan menambahkan, “Masing-masing bidang keilmuan punya tugas spesifiknya. Misal FMIPA meneliti ilmu-ilmu dasar, engineering meneliti penerapannya untuk kepentingan manusia. Pembagian itu yang kemudian harus didorong untuk menjawab kebutuhan riset fundamental yang sifatnya baru.”
Kesiapan Indonesia dalam mengembangkan ilmu fundamental sebenarnya tidak harus sepenuhnya dari dalam negeri. Riset kolaborasi menawarkan kesempatan yang lebih luas bagi ilmuwan-ilmuwan yang ada untuk mengembangkan penelitiannya. Hal ini dibuktikan dengan beberapa ilmuwan dari negara berkembang yang berhasil memenangkan nobel dari kolaborasinya bersama kelompok riset yang tepat.
ITB sebagai salah satu lingkungan pelopor bagi terciptanya riset kelas dunia terus mendorong civitas akademika di dalamnya untuk terus berkarya dengan ilmu pengetahuan dalam menemukan sesuatu yang baru sebagai manifestasi kampus yang “locally relevant and globally respected”.
“Walaupun kita terbatas, cari alternatif cara lain. Tidak usah berkecil hati seandainya dalam hal-hal fundamental fasilitas kita tidak mendukung, sekarang kan era kolaborasi. Jadi tidak masalah jika kita memiliki keterbatasan, karena kita sudah menjadi masyarakat global. Tinggal bagaimana kita mencari network, yang mana selalu bisa ditemukan walau kadang butuh kesabaran.”
Reporter: Hanifa Juliana (Perencanaan Wilayah dan Kota, 2020)
Foto: Rangga/FTI