Tantangan dan Solusi Permasalahan Sampah Plastik di Laut

Oleh Adi Permana

Editor Adi Permana


BANDUNG, itb.ac.id – Kebanyakan sampah laut terdiri dari plastik. Limbah ini dapat ditemukan di pantai maupun di kedalaman laut. Sampah laut ini pun memiliki ukuran berbeda: mega, mikro, dan nano. Hal ini dapat membahayakan makhluk-makhluk laut dan mengontaminasi habitat mereka. Permasalahan global ini semakin parah seiring waktu dan diprediksi bahwa sampah plastik di laut akan bertambah tiga kali lipat dari 2015 sampai 2025. Maka dari itu, FTSL ITB mengadakan kuliah tamu berjudul “Marine Litter: What are the Solutions to This Global Environmental Problem” pada Rabu (11/05/2022).

Kelas kali ini mengundang Prof. Richard Thompson, ilmuwan dan direktur institut kelautan dari University of Plymouth, UK. Dia merupakan orang pertama yang memperkenalkan istilah mikroplastik di 2004 dan telah melakukan riset tentang limbah tersebut hingga kini. “Beberapa limbah plastik sangat besar dan dapat dilihat dengan satelit, sedangkan beberapa sangat kecil sehingga tidak dapat terdeteksi oleh indra penglihatan manusia,” dia mengatakan.

Akumulasi sampah plastik berdampak besar ke laut dari segi lingkungan, ekonomi, kesehatan publik, dan margasatwa. Contohnya, nanoplastik dari hidangan laut dapat masuk tubuh manusia melalui jalur pencernaan menuju sistem peredaran darah. Akan tetapi, kerugiannya tidak secara langsung dikaitkan dengan manfaat sosial. Untuk mencegah penimbunan limbah plastik, produk plastik harus dirancang, digunakan, dan dibuang dengan lebih bertanggung jawab.

Prof. Richard menekankan bahwa plastik bukan musuh bagi manusia dan masyarakat tidak harus menjelekkannya; produk plastik memiliki potensi besar pada aplikasi dan penggunaannya. Plastik bahkan dapat menurunkan beberapa dampak negatif aktivitas manusia ke lingkungan, seperti pemakaiannya untuk kemasan makanan dan minuman yang mengurangi efek limbah makanan. “Tantangan sesungguhnya adalah mencari solusi yang dapat mempertahankan keuntungan plastik tanpa menyertakan kerugiannya.”

Salah satu alasan kondisi limbah plastik semakin buruk adalah model bisnis yang tidak berubah sama sekali selama 70 tahun. Orang-orang pada masa 1950-an diberi perspektif bahwa plastik yang diproduksi massal dapat dibuang sekali pakai. Penggunaan ini disebut dengan throwaway living, gaya hidup dimana mayoritas produk dapat didapatkan dan digunakan sementara sebelum dibuang langsung tanpa peduli. Akibatnya, 50% garis pantai dipenuhi dengan barang-barang sekali pakai di masa sekarang.

Strategi yang bakal membantu dalam penanganan limbah laut, khususnya plastik, adalah reduce, reuse dan recycle di segala aktivitas yang memerlukan penggunaan plastik. Namun, konsep daur ulang ini tidak bisa selalu diaplikasikan. Peningkatan proses tersebut sangat sedikit salam 60 tahun ke depan di mana kuantitas plastik yang masuk ke dalam laut terlalu cepat dibandingkan proses pembersihan dan pengumpulan sampah.

Sumber karbon untuk pembuatan plastik adalah minyak dan gas fosil yang tidak terbarukan. Sekitar 8% produksi minyak dunia digunakan untuk pembuatan plastic. 4% dari karbon dan 4% lainnya adalah energi untuk mengolah bahan baku menjadi plastik. Prof. Richard menyusulkan ide untuk menaikkan kapasitas daur ulang supaya karbon yang diperlukan tidak lagi dari minyak dan gas fosil. Sumber karbon digantikan dengan produk-produk plastik yang tidak digunakan, yang pada akhirnya mengurangi penggunaan minyak dan gas fosil serta akumulasi plastik. “Kita perlu mempunyai model alur kerjanya layak secara ekonomi agar mencapai sirkulasi produk maupun sampah baik,” dia menegaskan.

Selain itu, produk plastik didesain berbasis masa pakai dan masa akhir pakainya. Karena itu, desain baik produk-produk sangat penting bagi lingkungan, Serat mikro dari baju adalah salah satu sampah laut yang bisa diperbaiki desainnya melalui bahannya, proses menenun, dan jahitannya. Hal ini berdampak terhadap pelepasan serat sebanyak 80-90%. Selain itu, produk-produk perlu dipasang standar dan pelabelan sesuai serta perlunya mendirikan sistem manajemen limbah yang baik.

“Sampah plastik di laut terjadi akibat model bisnis yang tidak efisien dan ketinggalan jaman,” Prof. Richard menyimpulkan.

Reporter: Ruth Nathania (Teknik Lingkungan, 2019)