Webinar Citarum Menuju Pemenuhan Baku Mutu Air Limbah Domestik

Oleh Adi Permana

Editor Vera Citra Utami

BANDUNG, itb.ac.id – Ikatan Ahli Teknik Penyehatan dan Teknik Lingkungan Indonesia (IATPI) menyelenggarakan webinar dengan tema “Citarum Menuju Pemenuhan Baku Mutu Air Limbah Domestik” pada 7 November 2020 melalui Zoom dan YouTube. Webinar kali ini dibuka oleh Dr. Ir. Setiawan Wangsaatmaja, M.Eng., selaku Sekda Provinsi Jawa Barat dan dua pembicara yaitu Boy Iman Nugraha, M.T., beserta Susiani Susanti, M.T., selaku Kadisperkim Jawa Barat dan Satgas Citarum Harum. Tak hanya itu, webinar ini juga diisi oleh beberapa penanggap yaitu Ir. Arif Sudradjat, MIS., Ph.D., IPM (KK Teknologi Pengelolaan Lingkungan FTSL ITB), Ir. Winarko Hadi, M.M., M.T. (Wakil Ketua IATPI Jabar) dan dr. Siska Widya Dewi Kusumah (KK Teknologi Pengelolaan Lingkungan FTSL ITB).

Sungai Citarum merupakan sungai terpanjang dan terbesar di Jawa Barat. Sungai ini membentang sepanjang 270 km dari Kab. Bandung hingga Kab. Bekasi. Puluhan juta penduduk Jawa Barat dan sekitarnya bergantung pada sungai ini. Setiawan mengungkapkan bahwa di bagian hulu Citarum (Kota Cimahi, Kota Bandung, dan Kab. Bandung) masih banyak ditemukan praktik BABS (Buang Air Besar Sembarangan).

“Tingginya perilaku BABS dan pembuangan limbah cucian ke Citarum memengaruhi status mutu air Citarum,” paparnya. Dari delapan titik tempat pengujian mutu air hulu ke hilir, hanya dua titik yang memenuhi status aman. ”Tak hanya itu, limbah domestik, khususnya limbah kotoran manusia, mencemari Citarum karena banyak ditemukan jamban model meriam (langsung buang) dari toilet-toilet warga di bantaran sungai,” tambahnya.

Kadisperkim Jabar, Boy Iman Nugraha menyatakan bahwa kontribusi limbah domestik pada total pencemaran Citarum mencapai 68% (KLHK, 2017). Air limbah domestik merupakan air limbah dari aktivitas pemukiman, rumah makan, perkantoran, apartemen, niaga, dan asrama. “Untuk mewujudkan akses sanitasi aman pada 2030, maka perlu untuk menghentikan praktik BABS dan membangun infrastruktur sanitasi layak sejak sekarang,” jelasnya. Infrastruktur tersebut berupa IPAL Komunal, tangka septik komunal, dan tangka septik individual yang menjangkau 648 ribu-an lebih Kepala Keluarga (KK) dan memakan biaya hingga Rp3,2 triliun.

Pihak Satgas Citarum Harum, Susiani Susanti, mengungkapkan bahwa terdapat beberapa kendala teknis yang dihadapi timnya. “Beberapa kendala tersebut adalah masih rendahnya kehadiran IPAL di kawasan tertentu, belum optimalnya operasi IPAL, akses IPAL baru melayani 30% target KK, dan minimnya implementasi tangki septik komunal dan individu,” jelasnya.

Arif Sudradjat, anggota Kelompok Keahlian (KK) Teknologi Pengelolaan Lingkungan FTSL-ITB menegaskan bahwa pemenuhan kebutuhan sanitasi penduduk sekitar Citarum adalah salah satu bagian dari hak asasi manusia yang diamanatkan oleh UUD 1945. Arif juga mengungkapkan bahwa peta kepadatan penduduk (konsentrasi manusia) yang tinggal di sekitar Citarum akan memengaruhi tipe dan jenis layanan sanitasi pada daerah-daerah tertentu. “Semakin tinggi penduduk, kompleksitas juga akan meningkat dan infrastruktur sanitasi harus memiliki efisiensi tinggi,” ungkapnya.

Arif juga menegaskan bahwa penjagaan kualitas air pada Sungai Citarum harus meliputi baku mutu air sungai, daya tampung beban pencemar, baku mutu air limbah, status mutu air, dan kinerja pengelolaan. “Maka dari itu, keselarasan rencana daerah dan pusat merupakan hal yang penting dalam menjaga kualitas air Sungai Citarum dan perlu adanya dukungan masyarakat, industri, dan pemerintah,” jelasnya.

Salah satu anggota Kelompok Keahlian (KK) Teknologi Pengelolaan Lingkungan FTSL ITB, Siska Widya mengungkapkan bahwa internet of things dapat dimanfaatkan sebagai basis data kualitas air sungai dalam melakukan monitor pencapaian target kualitas air Citarum. Siska mengungkapkan bahwa penghimpunan data proses restorasi Citarum sejak 1990-an hingga saat ini dapat dianalisis untuk memudahkan pemerintah daerah dan pusat dalam mengambil keputusan (strategi restorasi).

“Restorasi dapat mudah dilakukan jika data historis dikelola dengan baik. Data lingkungan (environmental data) seperti jenis polutan, korelasi konsentrasi polutan, dan waktu merupakan suatu hal yang penting dalam kegiatan restorasi Citarum,” paparnya.

Siska juga memaparkan bahwa Kelompok Keahlian (KK) Teknologi Pengelolaan Lingkungan FTSL ITB bekerja sama dengan PT. Data Optima Konsultan mengembangkan RIVERA, yaitu water quality data repository Sungai Citarum bagian hulu yang berguna sebagai inventori data, pemrosesan data dan analisis, serta pelaporan, dan visualisasi, “Harapannya, data dari daerah lain akan terus dilengkapi sehingga RIVERA dapat membantu pemerintah daerah dan pusat untuk memutuskan kebijakan,” ujarnya.


Reporter: Billy Akbar Prabowo (Teknik Metalurgi, 2020)