Dinamika Global dan Tantangan bagi PTTI
Pada hari ini, tanggal 3 Juli 2024, perjalanan panjang Pendidikan Tinggi Teknik di Indonesia (PTTI) telah menginjak usia yang ke-104 tahun. Sejak di masa awal kelahirannya, PTTI telah memberikan sumbangsihnya bagi kemajuan rakyat dan bangsa Indonesia. Memasuki era Kemerdekaan Republik Indonesia, PTTI terus-menerus berjuang untuk menempatkan pendidikan tinggi teknik sebagai pilar kemandirian dan motor penggerak kemajuan bangsa Indonesia. Para pelaku sejarah PTTI meyakini bahwa kemajuan dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan faktor yang sangat penting bagi kemajuan dan kedaulatan bangsa Indonesia, serta bagi perkembangan peradaban manusia. Bersama-sama dengan lembaga pendidikan tinggi lainnya, PTTI telah menjadi pilar kelembagaan bangsa dalam upaya melaksanakan amanah Konstitusi Negara, sebagaimana tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 Alinea 4, yaitu “Mencerdaskan Kehidupan Bangsa.”
Sebagai sebuah lembaga pendidikan tinggi teknik yang tertua, Institut Teknologi Bandung (ITB) telah memusatkan perhatian dan memainkan peranan kepeloporan pada pendidikan, pengembangan, dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Di masa-masa awal, pendidikan tinggi teknik di ITB mencakup matematika dan ilmu-ilmu alam, berbagai bidang teknik, bidang perencanaan, serta bidang seni dan desain. Pada masa perkembangan berikutnya, cakupan tersebut meluas meliputi ilmu-ilmu sosial dan humaniora, seperti bidang bisnis dan manajemen, kewirausahaan, studi pembangunan, kebijakan publik, dan bidang studi sosio-teknologi. Pendekatan multidisiplin dalam pendidikan, pengembangan, dan penguasaan iptek tersebut mengalami perkembangan, seiring dengan semakin eratnya keterpautan di antara bidang-bidang iptek, dan antara kemajuan iptek, perkembangan kebudayaan, dinamika sosial, pertumbuhan ekonomi dan perubahan lingkungan.
Dalam kurun waktu satu abad terakhir, iptek telah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Pada kurun waktu itu juga, perubahan-perubahan besar dan disrupsi telah dan tengah terjadi pada masyarakat dunia. Pada hari ini, kita memasuki era industry 4.0, society 5.0, dan digital transformation. Pertemuan-pertemuan tingkat dunia gencar diselenggarakan untuk menyusun agenda bersama tentang climate change, anthropocene, energy transition, food/water security, green/blue economy, sustainable development dan global/regional security. Kondisi ekonomi dan politik yang sangat dinamis kini tengah berlangsung di berbagai belahan bumi. Keterpautan antara perkembangan dan kemajuan iptek di satu sisi, dan perubahan-perubahan sosial-politik, ekonomi, serta lingkungan di sisi yang lain, sudah semakin erat pada setiap permasalahan yang kita hadapi. Kita tidak lagi berurusan dengan perkembangan iptek di satu sisi, dan dinamika sosial-ekonomi-lingkungan di lain sisi, melainkan kita berurusan dengan socio-technological assemblage. Semua perubahan dan dinamika ini, pada gilirannya memunculkan tantangan tersendiri dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi, khususnya pendidikan tinggi teknik.
Dalam cara pandang yang konvensional, kita menganggap bahwa iptek adalah hasil dari penelitian di laboratorium, di lembaga pendidikan tinggi, atau di lembaga penelitian. Iptek tersebut kemudian ditransmisikan lewat pengajaran di kelas, didiseminasikan melalui seminar-seminar, atau dimanfaatkan lewat difusi inovasi. Ini dikenal sebagai pandangan yang berpola ‘linier.’ Hari ini, banyak kalangan menilai bahwa pandangan linier tersebut sudah tidak memadai lagi. Penelitian dan pengembangan iptek tidak bisa lagi dipandang sebagai kegiatan yang terisolasi dari dinamika sosial/ekonomi. Di luar kampus, iptek kini dikembangkan oleh perusahaan-perusahaan, melalui suatu jaringan inovasi yang berpola lintas-negara. Di berbagai negara, lembaga-lembaga pemerintahan menjalankan agenda-agenda yang mendorong perkembangan dan pemanfaatan iptek lewat kemitraan public-private. Kini semakin banyak komunitas lokal, bersama dengan LSM, yang berinisiatif dalam pengembangan dan pemanfaatan iptek untuk adaptasi perubahan iklim, atau mendorong green innovation. Tidak kalah pentingnya, dengan media digital, pertukaran dan perputaran informasi tentang iptek di kalangan netizen juga semakin pesat dan meluas.
Dengan perkataan lain, pengembangan dan pemanfaatan iptek, kini bukan lagi menjadi hal yang secara eksklusif terpaut dengan lembaga pendidikan tinggi. Sebagian kalangan menyebutkan bahwa penelitian/perkembangan iptek pada hari ini sudah masuk ke era post-normal science, yang dicirikan oleh tiga hal: i) semakin beranekaragamnya pihak yang berkepentingan terhadap iptek; ii) kepentingan tersebut semakin signifikan; iii) partisipasi berbagai pihak dalam pengembangan/pemanfaatan iptek semakin tinggi. Hari ini, iptek semakin penting dan berpengaruh dalam kehidupan manusia, tetapi lembaga pendidikan tinggi sudah tidak lagi memainkan peranan yang dominan dalam menentukan arah perkembangan dan pemanfaatan iptek. Dalam situasi seperti ini, pertanyaan yang penting bagi kita adalah: apakah ke depan lembaga pendidikan tinggi akan mampu meningkatkan dampaknya di masyarakat?
Dalam sebuah buku yang berjudul “Universities as Engines of Economic Development” terbitan tahun 2020, disimpulkan bahwa perguruan tinggi akan mampu meningkatkan dampaknya di masyarakat, jika berhasil menjalin interaksi dan kolaborasi secara lebih erat dengan berbagai mitra di masyarakat. Agar bisa memiliki dampak di masyarakat, lembaga pendidikan tinggi tidak bisa bertahan sebatas menjadi center of excellence, tetapi juga harus sekaligus menjadi center of relevance. Ke depan, lembaga pendidikan tinggi tidak cukup berperan sebatas agent of knowledge, tetapi perlu menjadi agent of knowledge exchange, dari center menjadi hub. Yang menjadi asumsi dasar di sini adalah, pertama, knowledge development kini terjadi di mana-mana, baik di kampus maupun di luar kampus. Kedua, untuk bisa menghasilkan penciptaan nilai (value creation), yang dibutuhkan bukan sebatas knowledge itu sendiri, melainkan knowledge exchange, yang dijalankan secara sadar dan sistematik untuk tujuan penciptaan nilai.
Untuk menjalankan systematic knowledge exchange, diperlukan upaya-upaya secara sistematik dan terus-menerus, untuk mempertemukan (to match) kebutuhan (need) dari para mitra perguruan tinggi, dengan luaran-luaran (outcomes) yang dihasilkan oleh perguruan tinggi. Langkah ini melibatkan proses yang melintasi batas-batas disiplin (cross-disciplinary), serta pengintegrasian program-program pendidikan, penelitian, serta pengabdian masyarakat dan inovasi. Matching bukanlah fenomena yang statis, melainkan bersifat dinamis dan living.
Secara umum, luaran-luaran perguruan tinggi mencakup para lulusan dengan kompetensi yang spesifik, hasil-hasil penelitian yang bersifat fundamental, teori/model, data eksperimental, purwarupa dan desain, serta berbagai metode. Knowledge exchange melibatkan semua bentuk luaran tersebut, sebagai potensial solusi. Akan tetapi, hubungan antara ‘masalah’ dan ‘solusi’ bukanlah seperti hubungan pemetaan ‘one-on-one’ yang bersifat statis. Masalah perlu digali dan dipahami lewat interaksi dan pertukaran gagasan melibatkan berbagai pihak, dan lewat cara itu pula solusi dicari, diuji, dan diimplementasikan. Permasalahan di ‘dunia nyata’ tidak mengenal ‘kotak-kotak’ disiplin keilmuan. Karena ini, masalah perlu digali dan dipahami dengan pendekatan lintas-disiplin, dan solusi atas masalah tersebut membutuhkan berbagai luaran secara terpadu. Untuk ini, dibutuhkan atmosfer yang kondusif bagi dialog lintas-disiplin, pengintegrasian kegiatan pendidikan, penelitian, serta pengabdian masyarakat dan inovasi, serta pertukaran gagasan antar berbagai pihak.
Knowledge exchange memerlukan sikap saling terbuka dan saling percaya, serta dialog yang bersifat konsultatif. Knowledge exchange merupakan proses yang manusiawi dan berbudaya, dan bukan proses yang sebatas berpola formal dan mekanistis. Diseminasi informasi dengan cara formal seperti kuliah umum, publikasi karya ilmiah, ataupun demonstrasi purwarupa di laboratorium/studio, tidak selalu memadai. Knowledge exchange memerlukan komunikasi dengan cara langsung (immediate) dan informal, selain juga tidak langsung (mediated) dan formal. Dan agar dapat berjalan dengan baik dan berkembang, systematic knowledge exchange membutuhkan dukungan ekosistem inovasi, yang dibangun secara bersama-sama.
Kalau merujuk ke Global Innovation Index (GII) yang diterbitkan oleh World Intellectual Property Organization (WIPO), peringkat Indonesia masih relatif belum memuaskan, yaitu di peringkat 61 dari 132 negara, di tahun 2023. Sedangkan pada kelompok Lower Middle-Income Economy, Indonesia di peringkat 5 dari 37 negara, di bawah India, Vietnam dan Filipina. Makna dari peringkat tersebut adalah bahwa kinerja ekosistem inovasi nasional Indonesia masih relatif belum tinggi. Secara umum, ekosistem inovasi adalah suatu bentuk keterpautan antara lembaga pendidikan tinggi/lembaga penelitian, berbagai pelaku di sektor ekonomi, serta lembaga-lembaga pemerintahan. Ekosistem inovasi tersebut dijalin dan dikembangkan oleh berbagai pihak yang terkait, untuk mendorong perkembangan iptek dan inovasi yang menghasilkan ‘nilai tambah’ di sektor-sektor ekonomi ataupun sektor-sektor publik.
Di negara-negara dengan Indeks Inovasi yang tinggi, ekosistem inovasi telah terbangun secara relatif kuat dan bersifat dinamis. Tantangan yang dihadapi di negara-negara terbut bukanlah menjalin dan membangun ekosistem inovasi, melainkan beradaptasi terhadap perubahan dan disrupsi, serta menjaga keberlanjutan (sustainable innovation). Sementara bagi negara-negara dengan Indeks Inovasi yang relatif belum tinggi, diperlukan langkah-langkah yang strategis untuk bisa mempercepat pengembangan dan penguatan ekosistem inovasi. Langkah-langkah tersebut perlu dirumuskan dan dijalankan secara bersama-sama. Di sini diperlukan peranan pemerintah dalam memfasilitasi interaksi antara perguruan-perguruan tinggi dan berbagai pelaku di sektor-sektor ekonomi.
Izinkan saya merangkum uraian di atas sebagai berikut. Pertama, iptek akan semakin penting untuk merespons berbagai permasalahan global, nasional, dan lokal, tetapi para pelaku iptek akan semakin beragam dan tersebar (era post-normal science). Kedua, lembaga pendidikan tinggi tidak bisa lagi menjalankan peranannya secara terisolasi sebagai center, dan perlu mampu menempatkan diri dalam jaringan sebagai hub, untuk menjalankan systematic knowledge exchange. Ketiga, knowledge exchange merupakan proses kolektif yang membutuhkan dukungan ekosistem inovasi nasional, yang pada hari ini, tingkat kinerja ekosistem inovasi masih sangat bervariasi dari satu negara ke negara lainnya, dan dari satu daerah ke daerah lainnya, sehingga memunculkan permasalahan ketimpangan, dan tantangan bagi global sustainability.
Ke depan, keberadaan lembaga pendidikan tinggi akan semakin penting, karena dua alasan. Pertama, lembaga pendidikan tinggi merupakan knowledge reservoir, yang terbentuk dari hasil-hasil berbagai kegiatan pendidikan, penelitian, serta pengabdian masyarakat dan inovasi, dalam kurun waktu yang sangat panjang. Tidak ada lembaga lain di luar kampus yang memiliki kapasitas pengetahuan sebesar ini. Kedua, lembaga pendidikan tinggi mampu menyelenggarakan pendidikan tinggi secara sistematik, berkesinambungan, terukur dan akuntabel. Tidak ada lembaga lain yang mampu melakukan hal ini. Meskipun memiliki kelebihan tersebut, menurut hemat saya, lembaga pendidikan tinggi menghadapi tantangan untuk bisa mentransformasikan peranannya, sehingga mampu meningkatkan dampaknya bagi pembangunan dan kemajuan bangsa.
Sebagaimana dinyatakan oleh para ahli ekonomi, saat ini bangsa Indonesia tengah menyongsong era ‘bonus demografi’ (demographic dividend). Dan dengan modal demografi ini, kita berharap bisa meraih ‘Indonesia Emas’ di tahun 2045. Menurut hemat saya, secara umum ada dua langkah mendasar yang perlu dijalankan untuk mewujudkan harapan tersebut. Yang pertama adalah transformasi peranan lembaga pendidikan tinggi, sehingga mampu mengembangkan ‘modal demografi’ tersebut menjadi kekuatan penggerak kemajuan bangsa. Untuk mencapai Indonesia Emas, dibutuhkan Sumber Daya Manusia (SDM), atau Potensi Insani, yang tidak sebatas memiliki kompetensi kognitif yang unggul, melainkan juga memiliki karakter yang terpercaya dan dapat diandalkan. Yang kedua adalah mempercepat penguatan kinerja ekosistem inovasi nasional, yang pada hari ini masih pada peringkat yang belum memuaskan. Kedua langkah tersebut perlu dijalankan secara serentak dan sinergis, untuk memastikan peningkatan pertumbuhan ekonomi berbasiskan inovasi, yang diiringi dengan penguatan ketahanan ekologi, dan keberlanjutan.
Untuk mendorong penguatan peranan lembaga pendidikan tinggi dan peningkatan kinerja ekosistem inovasi, peranan negara dalam pembiayaan dan investasi adalah faktor yang strategis. Peningkatan pembiayaan oleh negara tentu bukan hal yang mudah, karena adanya keterbatasan fiskal negara. Oleh karena ini, investasi negara di bidang pendidikan tinggi perlu diikuti dengan langkah-langkah oleh berbagai pihak, untuk bisa secara efektif memperkuat ekosistem inovasi nasional, sehingga menghasilkan ‘return on investment.’ Di sini makna ‘return’ bukanlah terbatas pada penerimaan pajak. Melainkan, return tersebut adalah berbagai outcome dari pendidikan tinggi yang terukur, dan sejalan dengan kebijakan strategis negara berkaitan dengan pencapaian Indonesia Emas.
Dalam beberapa tahun belakangan, ITB telah mendorong penelitian dan pengembangan iptek, yang merespons permasalahan global, nasional dan lokal di bidang-bidang seperti transisi energi, adaptasi climate change, transformasi digital, green economy, ketahanan pangan, ketahanan air, kesehatan, serta pemulihan ekonomi paska COVID-19. LPPM ITB telah mengembangkan strategi pengabdian masyarakat yang menjangkau daerah 3T di Indonesia, untuk berkontribusi dalam percepatan pemerataan pembangunan.
ITB juga terus-menerus memperkuat ekosistem inovasi ‘internal,’ untuk mendorong ‘hilirisasi penelitian dan inovasi.’ Saat ini ITB tengah merampungkan pembentukan science & technology park (STP) ITB, yang dilengkapi dengan sarana/pra-sarana dan model bisnis. ITB mendorong kerjasama penelitian dan inovasi dengan perguruan-perguruan tinggi ternama dunia, di bidang-bidang iptek yang bersifat frontier, antara lain di bidang astronomi, nano-teknologi, bio-
teknologi, dan info-teknologi.
ITB juga meningkatkan kerja sama dengan pemerintahan daerah di bidang-bidang yang strategis, seperti Sumedang Digital City dan Ekonomi Kreatif di Cirebon. ITB juga terus memperluas program multi-kampus (hari ini telah mencakup Kampus Jatinangor, Cirebon, dan Jakarta), untuk memperluas akses ke layanan pendidikan tinggi, dan mendorong knowledge exchange. ITB juga telah mengembangkan program penguatan karakter bagi mahasiswa, sehingga nantinya bisa berperan menjadi agen knowledge exchange di lingkungan kerja.
Selain ini semua, ITB telah merumuskan dan mensosialisasikan Budaya Ilmiah Unggul sebagai intellectual platform ITB, untuk memastikan excellence dalam scientific quality, dan added value yang tinggi dari berbagai kegiatan ITB. Dalam kurun waktu 2020-2023, ITB terus-menerus mengalami peningkatan dalam produktivitas dan reputasi ilmiah (scientific productivity and reputation), dan bertahan pada peringkat teratas di Tanah Air.
Data dari SCIVAL dan SINTA menunjukkan bahwa ITB senantiasa mempertahankan skor yang tinggi dalam “Top Tier (Q1) Publications/Faculty,” serta angka rata-rata kutipan ilmiah (scientific citation) per dosen tertinggi, pada tingkat nasional. Capaian tersebut tidak terlepas dari peningkatan kolaborasi antara ITB dan perguruan-perguruan tinggi terkemuka seperti Massachusetts Institute of Technology, University of Oxford, dan University of Cambridge, yang telah menghasilkan publikasi bersama, dengan Journal Impact Factor (JIF) yang tinggi.
Saya meyakini bahwa lembaga pendidikan tinggi teknik akan memainkan peranan yang semakin penting, baik dalam mewujudkan visi Indonesia Emas, maupun dalam merespons permasalahan global yang semakin dinamis. Untuk ini, menurut hemat saya diperlukan pembaruan cara pandang terhadap pendidikan tinggi teknik, dan transformasi peranan dari lembaga pendidikan tinggi teknik itu sendiri. Kebersamaan dan kontribusi berbagai pihak, mulai dari lembaga-lembaga pemerintahan, para pelaku di sektor ekonomi, dan masyarakat pada umumnya, merupakan faktor yang sangat berharga dan penting bagi peningkatan peranan pendidikan tinggi teknik dalam mewujudkan kemajuan bangsa Indonesia. Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan hidayah-Nya kepada kita semua, sehingga kita dapat bergerak semakin mantap menuju Indonesia Emas di tahun 2045. Aamiin, Yaa Rabbal Alamin.