Sambutan Rektor ITB Pada Sidang Terbuka ITB Dies Natalis ke-66 ITB

Yang terhormat,

Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia,
Pimpinan dan anggota Majelis Wali Amanat ITB,
Pimpinan dan anggota Senat Akademik ITB,
Para Guru Besar ITB,
Para Rektor dan Tokoh-tokoh Senior ITB,
Wakil Rektor, Dekan, Kepala Satuan, Kepala Badan, Direktur Eksekutif, Pejabat ITB, Ketua Kelompok Keahlian,
Para Dosen, Tenaga Kependidikan, Mahasiswa, serta tamu undangan yang saya hormati,
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Salam sejahtera bagi kita semua.

Puji syukur kita marilah panjatkan ke hadirat Allah SWT atas limpahan rahmat yang diberikan kepada kita semua. Pada hari yang cerah dan penuh dengan suasana bahagia ini, kita dapat berkumpul bersama untuk menghadiri Acara Dies Natalis ke-66 ITB.

Dies Natalis Institut Teknologi Bandung adalah sebuah momen istimewa untuk merefleksikan sejarah panjang institusi kita, serta merancang masa depan ITB guna menjawab tantangan zaman.

ITB hari ini adalah ITB yang dibangun setahap demi setahap, yang telah melewati perjalanan sejarah yang panjang sejak berdirinya sebagai Technische Hoogeschool te Bandoeng tahun 1920, Bandung Kogyo Daigaku, Sekolah Tinggi Teknik (UGM), Universiteit van Indonesie, dan pada akhirnya sebagai Institut Teknologi Bandung. Perjalanan panjang ITB juga merupakan bagian penting dari perjalanan bangsa Indonesia, dan hari ini di ulang tahun yang ke-66 sejak perguruan tinggi ini diresmikan namanya menjadi Institut Teknologi Bandung oleh Presiden Soekarno, sudah semestinya ITB tetap konsisten memberi kontribusi karya dan pemikiran terbaiknya bagi bangsa Indonesia.

Indonesia dan dunia saat ini menghadapi tantangan yang kompleks, serta memerlukan penyelesaian menyeluruh yang melintasi batas-batas disiplin ilmu. Untuk itu, dalam kesempatan ini, saya ingin mengajak kita semua untuk merenungkan pada satu semangat yang sangat dibutuhkan bagi masa depan pendidikan tinggi, kemajuan ilmu pengetahuan di Indonesia, dan juga menyelesaikan berbagai masalah bangsa yang kompleks dan berdimensi banyak hari ini, yaitu pengembangan keilmuan transdisiplin.

Keilmuan Transdisiplin
Sebagai institusi yang tengah bertransformasi menuju Fourth Generation University (4GU) yang unggul dan berdampak, ITB tidak bisa lagi terpaku pada pendekatan monodisiplin atau bahkan multidisiplin semata. Kita harus menerabas batas-batas keilmuan dan menciptakan integrasi keilmuan yang lebih menyatu melalui pendekatan transdisiplin.

Keilmuan transdisiplin lebih dari sekadar menyandingkan berbagai bidang ilmu, tetapi ia membangun sebuah paradigma baru sehingga berbagai disiplin bersinergi dalam satu ekosistem keilmuan yang lebih dinamis dan adaptif. Pendekatan ini diperlukan untuk menyelesaikan masalah-masalah kompleks seperti perubahan iklim, kesehatan global,

wabah penyakit, ketahanan pangan, ketimpangan pendidikan, kecerdasan buatan, dan keberlanjutan industri nasional. Saya yakin dengan pengembangan keilmuan transdisiplin, yakni mengembangkan kolaborasi ilmu kemanusiaan, seni, desain, teknologi, dan sains, peran ITB pada pembangunan bangsa yang berkelanjutan akan semakin relevan.

Dalam sejarahnya, insan ITB sudah jamak mempelajari pengetahuan baru. Misalnya, Presiden Soekarno berhasil menjadi orator ulung serta piawai berbahasa, dan beliau tangkas berpolitik. Perdana Menteri Djuanda setelah lulus ITB menjadi guru SMA Muhammadiyah dan mempelajari ilmu hukum dan berkat kepemimpinannya falsafah wilayah Indonesia sebagai negara kepulauan diakui dunia.

Maka, pada satu sisi, dengan menyaksikan sejumlah insan ITB yang berhasil mempelajari beragam disiplin baru, kita sungguh siap mengembangkan keilmuan transdisiplin.

Seperti kebijakan Ganesha yang rela mematahkan gadingnya guna mencatat dan memproduksi pengetahuan baru, insan ITB punya kesanggupan mengenyampingkan kepentingan dirinya demi tujuan lebih besar dan mulia. Kita semua memiliki kepeloporan dan kejuangan sekaligus ketajaman akal untuk membangun keilmuan transdisiplin.

Kebersahajaan
Namun pada sisi lainnya, guna berhasil mengembangkan keilmuan transdisiplin serta memproduksi pengetahuan kontemporer, seseorang membutuhkan sebuah kearifan. Dalam Bahasa Inggris, kearifan ini disebut intellectual humility atau kebersahajaan.

Bersahaja di sini bukan artinya kita harus rendah hati, apalagi rendah diri. Seseorang yang bersahaja tidak segan menyatakan keterbatasan pengetahuannya dan secara terbuka mengakui, kala ia salah atau tak yakin. Tanpa mengurangi rasa hormat saya ke sesama insan ITB, saya justru kuatir akan unsur kebersahajaan ini.

Menurut novelis serta cendekiawan C.S. Lewis, kebersahajaan bukan upaya mengecilkan pemikiran kita, tetapi sebuah ajakan agar kita mengurangi memikirkan diri sendiri. Ini ajakan melawan kehausan kita akan pengakuan pentingnya diri kita. Malah sebaliknya, ini saatnya kita perlu mengarahkan perhatian ke luar dari diri kita, yakni pada sesama kita dan membesarkan peran ITB terhadap bangsa dan dunia. Dalam bahasa Teori Himpunan, kita perlu menaruh perhatian kita pada ITBc, atau (ITB Komplemen), yakni semesta dikurangi ITB.

Semoga Ibu/Bapak pendidik dan kawan-kawan mahasiswa sekalian juga sepakat bahwa benih kebersahajaan inilah yang sekarang perlu kita taburkan sebagai fondasi guna menumbuhmekarkan keilmuan transdisiplin. Guna membuka akal ke cakrawala pengetahuan baru, kita memerlukan keahlian untuk menyimak orang lain, kerelaan mengumpulkan informasi dari segala sumber, dan kesadaran untuk tidak membolehkan pengetahuan sebelumnya membelenggu pemikiran kita.

Kecuali itu, bukankah belajar sepanjang-hayat hanya mungkin terjadi jika seseorang mau mengakui bahwa pengetahuannya belum cukup?

Konsekuensi dari seorang yang bersahaja, ia berani mencoba hal baru, dan jika yang dicobanya keliru, ia tak segan mengakuinya. Bukankah kearifan ini yang menjadi modal utama pendorong budaya ilmiah di dunia sains juga? Indikator upaya kita ini berhasil jika mahasiswa di kelas kita berani mencoba menjawab jika ada pertanyaan muncul. Saya mendambakan terbangunnya suatu suasana akademik yang ramah mendukung di setiap ruang di semua kampus ITB sehingga mahasiswa kita berani mengambil risiko untuk keliru dan kemudian lingkungan akademik kita merayakan setiap kekeliruan sebagai langkah pertama dan utama untuk belajar.

Di dunia kerohanian, K.H. Mustofa Bisri atau Gus Mus dengan jitu mengajarkan bahwa “Malaikat tidak pernah salah. Setan tidak pernah benar. Manusia bisa salah, bisa benar. Maka kita dianjurkan saling mengingatkan bukan saling menyalahkan.” Dengan pesan ini, beliau mengingatkan bahwa kita mustahil selalu benar, dan sebaliknya, orang yang berseberangan dengan kita mustahil selalu salah.

Jika kita telusur kisah-kisah tentang hutan, Forest Stories - 7 Tales from far-away lands ditemukan sebuah cerita yang mengisahkan seorang pemimpin di sebuah negara yang gundah gulana karena kawanan serigala di negaranya terancam punah. Menghadapi masalah ini, ia memanggil para ahli dalam sains, teknologi, ekonomi, hukum, bahkan dalam ilmu sosial dan politik. Mereka mengusulkan berbagai cara tepat, dari teknologi kloning, rekayasa genetika, pelestarian alam, undang-undang baru, ekonomi hutan, dan lain sebagainya. Singkat kata, langkah gabungan dari para pakar itu berhasil menyelamatkan spesies serigala tersebut dari ancaman kepunahan. Kawanan serigala di hutan terselamatkan dan populasi serigala tidak terancam lagi. Ekosistem di hutan kembali harmonis. Sang pemimpin bersukacita.

Namun, setahap demi setahap, sejumlah orang mulai memburu serigala dan mengakibatkan kelestarian spesies ini terancam kembali. Sang pemimpin gundah kembali dan kemudian bertanya ke salah seorang pembantu bijaknya, “Apa yang dapat saya lakukan sekarang?” Salah seorang bijak menganjurkan beliau memanggil seniman, pendongeng, dan fotografer. Saat mereka hadir, sang pemimpin menceritakan masalahnya. Setelah menyimak, para perupa menawarkan untuk menciptakan berbagai karya seni rupa menggambarkan kegagahan serigala. Para pendongeng menuliskan kisah-kisah bijak tentang peran serigala dalam kehidupan, ekosistem, sampai geografi. Sedangkan para pemotret dan sutradara film membuat foto dan film mengabadikan keindahan serigala di alam asalnya. Setelah jadi dan disebarkan, masyarakat luas menjadi peduli untuk turut aktif mengajak melestarikan spesies serigala tersebut.

Kisah tadi mengingatkan kita bahwa untuk menyelesaikan masalah di zaman kiwari yang amat kompleks ini, semua insan akademik harus membuka diri terhadap kepakaran lain, bahkan pada bidang yang sebelumnya dirasa tak berhubungan. Sains dan teknologi mampu membuat dunia lebih baik, tetapi seni dan kemanusiaan yang memberikan alasan mengapa kita perlu dunia yang lebih baik.

Mari mulai menyimak pendapat berbeda dan membuka lebar akal kita terhadap setiap kemungkinan, seberapa pun kecil kemungkinan itu. Setelah kita bersama-sama memupuk kearifan intellectual humility atau kebersahajaan itu, baru kemudian budaya transdisiplin serta belajar sepanjang hayat dapat bertumbuh mekar di ITB.

Penutup
Mari kita bergandengan tangan membangun ITB sebagai pusat keunggulan transdisiplin yang memelopori perubahan dan inovasi untuk masa depan yang lebih baik.

Pada kesempatan ini saya juga ingin menyampaikan ucapan selamat kepada para penerima penghargaan ITB. Bapak dan ibu adalah teladan dan inspirasi bagi rekan-rekan dosen lainnya untuk terus berkarya dan berkarya sebaik mungkin.

Selamat Dies Natalis ITB! Semoga ITB terus berjaya dalam menciptakan ilmu pengetahuan, inovasi, dan solusi bagi dunia.

Terimakasih.
Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Bandung, 4 Maret 2025
Prof. Dr. Ir. Tatacipta Dirgantara, M.T.
Rektor ITB