Menghidupkan Desa Wisata Tangguh Bencana di Cikahuripan
Oleh Adi Permana
Editor Adi Permana
*Salah satu program uji coba walking tour yang diinisiasi oleh ITB untuk menghidupkan Cikahuripan sebagai Desa Wisata Tangguh Bencana. (Foto: Dok. Pengabdian Masyarakat ITB)
BANDUNG, itb.ac.id—Meski berada di zona sesar aktif Lembang, ratusan masyarakat tetap memilih untuk hidup di Desa Cikahuripan. Menanggapi kenyataan itu, mereka mengupayakan mitigasi dan kesiapsiagaan sejak 2012 melalui Forum Kesiapsiagaan Dini Masyarakat (FKDM) dengan agenda pembekalan dan sosialisasi. Sayangnya, masyarakat Desa Cikahuripan masih belum mampu terlibat dalam aksi nyata, bukan karena abai, tetapi bingung dalam menyikapi isu kebencanaan.
Upaya Mitigasi Bencana Berbasis Komunitas
Hadirnya pihak eksternal sebagai perantara tentu berperan besar dalam mendorong partisipasi masyarakat dalam menemukan potensinya. Oleh karena itu, tim pelaksana yang berasal dari FSRD ITB, FITB ITB, dan Bandung Mitigasi Hub berusaha untuk melakukan pemberdayaan melalui pengembangan Desa Wisata Tangguh Bencana. Pada periode awal kegiatan pengabdian masyarakat ini, tim melakukan Pendekatan Pengurangan Risiko Bencana Berbasis Komunitas (PRBBK). Pendekatan tersebut memunculkan tiga hal yang perlu masyarakat lakukan, yaitu mengenali ancaman bencana, mengenali lokasi tempat tinggal, dan mengenali potensi serta kemampuan yang dimiliki dalam menghadapi bencana.
Selanjutnya, sebagai area yang terletak di tengah hiruk pikuk wisata Kabupaten Bandung Barat, mata pencaharian masyarakat Desa Cikahuripan kini cukup berimbang antara bertani-beternak dan ranah turisme. Bahkan, generasi mudanya lebih memilih untuk bekerja di tempat yang pendapatannya lebih stabil. Fakta ini diidentifikasi pada 2020 oleh tim pelaksana. “Kami menemukan luruhnya identitas budaya dan kearifan lokal terkait bencana gempa yang berasal dari Sesar Lembang. Sumber daya budaya ini penting untuk menciptakan kebersatuan masyarakat, terutama dalam menghadapi ancaman bencana alam,” sebut mereka.
Bersamaan dengan awal pandemi Covid-19, tim pelaksana mendasarkan pengabdian pada penggalian sumber daya budaya tersebut. Melalui sayambera cerita rakyat yang diikuti oleh 10 RW, mereka mendapatkan sejumlah kearifan lokal. Cerita yang terpilih berjudul “Asal Usul Engko di Kampung Pojok Tengah” karya Hendi Heryadi. Di dalamnya, Hendi mengisahkan kesenian engko yang hampir punah. Engko adalah bentuk kegiatan bertutur dengan alunan musik kecapi dan kerap ditemukan dalam acara-acara hajatan. Untuk mengabadikannya, cerita dikemas dalam bentuk buku cerita anak yang disisipkan pesan-pesan pengurangan risiko kebencanaan.
Untuk mengusahakan bentuk yang lebih berkelanjutan dari usaha FKDM di bawah lembaga Desa Tangguh Bencana (Destana), tim pelaksana juga menjalin kerja sama untuk merancang Rencana Induk Desa Wisata Tangguh Bencana. Upaya diawali dengan studi banding ke desa-desa wisata dan kreatif di sekitar Bandung. Melalui kegiatan tersebut, masyarakat Desa Cikahuripan menyadari bahwa mereka juga memiliki kapasitas serta sumber daya yang mumpuni untuk membangun wilayahnya.
Tim pelaksana lalu memfasilitasi beberapa kali FGD untuk memetakan rencana dan berhasil mengidentifikasi tiga poin yaitu memiliki rencana mitigasi bencana dalam setiap program dan kawasan wisata sehingga senantiasa aman, masyarakat sekitar sadar akan potensi bencana di wilayah tersebut dan tercermin dari budayanya, serta memiliki program dan kawasan wisata yang berisi edukasi tentang kesiapsiagaan bencana.
Ketiga poin diwujudkan dalam slogan yang juga diambil dari nama desa. “Cik ah!” dipilih karena dalam Bahasa Sunda, dapat digunakan untuk mengajak atau memberitakan sebuah ketertarikan. Slogan juga diimplementasikan pada baju pemandu wisata yang tengah dipersiapkan untuk menjalankan program.
Pada akhir 2021, program walking tour turut diuji yang meliputi dua bagian penting Desa Cikahuripan, Benteng Belanda dan Lembah Cikahuripan. Untuk trek benteng, fokus yang dipilih adalah cerita sejarah di masa perjuangan kemerdekaan, perkembangan wilayah desa, serta ditambah rencana mitigasi letusan gunung api atau gempa bumi. Sementara itu, di trek lainnya, masyarakat berencana untuk mengenalkan budaya sehari-hari, seni, dan upaya mitigasi.
Membangun Lembaga untuk PRBBK
Untuk merealisasikan semua rencana, perlu dibentuk kelembagaan formal yang beranggotakan fasilitator, tokoh masyarakat, dan perangkat desa agar berjalan selaras. Rumusan kerja sama yang dijalin diharapakan bisa terus melanggengkan upaya PRBBK.
Sesuai dengan rencana jangka menengah, pada tahun 2022, tim pelaksana berfokus untuk merancang pengembangan model mitigasi bencana, terkhusus di wilayah Benteng Belanda Cikahuripan, mengembangkan rencana bisnis dan penasaran, dan mencapai target 1000 turis per tahun. Mereka turut mengajak Dr. Prasanti Widyasih dari FTSL ITB dan Dr. Nila Armelia Windasari dari SBM ITB untuk memfasilitasi masyarakat.
Diskusi antara fasilitator dan masyarakat menghasilkan rencana perayaan 100 Tahun Desa Cikahuripan dalam bentuk festival seni budaya. Harapannya, kegiatan tersebut dapat meningkatkan kesadaran akan kesiapsiagaan bencana melalui tarawangsa, pencak silat, hingga pertunjukan wayang yang mudah dicerna.
Tim pelaksana juga bermaksud untuk mendorong dan merilis program walking tour agar dapat diakses publik secara lebih luas melalui sarana peta dan pemandu wisata. ”Dalam menggarapnya, kami juga mendampingi masyarakat untuk mengidentifikasi risiko dan kebutuhan terkait gempa bumi bersama Destana, Pokdarwis, dan Karang Taruna.”
Terapi Seni, Mitigasi Bencana, dan Komunitas
Meski rancangan telah dibuat, kendala terbesar yang harus dihadapi adalah menjaga konsistensi masyarakat Desa Cikahuripan dalam mengupayakan mitigasi bencana. Perlu diakui, upaya tersebut penuh dengan manifestasi kecemasan komunitas yang direpresi akibat ketidakberdayaan sehingga dibutuhkan adanya terapi seni. Terapi seni yang berbasis komunitas dapat mengeksplorasi ruang-ruang kolaborasi yang kreatif demi menghasilkan kekuatan.
Melalui rangkaian proses terapi seni, komunitas diharapkan tidak lagi cemas dan berpikir bahwa mitigasi bencana berat untuk dilakukan. Justru, pada dasarnya, wujud budaya telah dimiliki dan hanya perlu dikembangkan saja. Seni dapat menghadirkan kesiapsiagaan dari generasi ke generasi, dan terus berputar, untuk terus terjaga dan menemukan bentuk yang baru.
*Artikel ini telah dipublikasi di Media Indonesia rubrik Rekacipta ITB, tulisan selengkapnya dapat dibaca di laman https://pengabdian.lppm.itb.ac.id
Reporter: Sekar Dianwidi Bisowarno (Rekayasa Hayati, 2019)