Gunung Kembar Lewotobi Erupsi, Ahli ITB Ungkap Risiko Aktivitas Vulkanik

Oleh Fahrul Rozi Subakti - Mahasiswa Teknik Geodesi dan Geomatika, 2021

Editor Anggun Nindita

Ilustrasi gunungapi (Dok. Pixabay)

BANDUNG, itb.ac.id - Gunung Lewotobi yang terletak di Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, mengalami erupsi mulai dari awal November 2024. Aktivitas vulkanik ini memiliki dampak bagi masyarakat yang ada di wilayah tersebut.

Gunungapi ini mempunyai keunikan, yakni memiliki dua puncak khas yang sering dijuluki "Gunung Lewotobi Laki-laki" dan "Gunung Lewotobi Perempuan". Diketahui, Gunung Lewotobi Laki-laki lebih dulu menunjukkan aktivitas vulkanik.

Ahli Vulkanologi dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Dr. Mirzam Abdurrachman, S.T., M.T., menyatakan setelah lebih dari dua dekade dalam kondisi relatif tenang, gunungapi ini kembali aktif dan memunculkan potensi bahaya besar bagi lingkungan sekitarnya.

Riwayat Erupsi Gunung Lewotobi

Erupsi pertama yang tercatat secara resmi terjadi pada tahun 1861, diikuti letusan lain pada 1865, 1868, 1907, dan 1914. Setelah istirahat panjang, gunung ini kembali aktif pada 1932, 1939, dan 1940, hingga erupsi terakhir pada 2002 sebelum kini aktif kembali pada 2024.

Menurutnya interval yang lebih panjang antara letusan menandakan akumulasi energi yang lebih besar dalam gunung. “Gunungapi yang lama beristirahat seperti Lewotobi ini akan mengakumulasi volume dan tekanan magma. Jadi ketika meletus, letusannya bisa jauh lebih besar dari biasanya,” ujar Dr. Mirzam.

Secara geologis, Gunung Lewotobi terletak di atas kerak samudera, yang biasanya menghasilkan letusan efusif dengan lava mengalir tenang. Namun, letusan kali ini mengejutkan para ahli dengan karakter eksplosif yang memunculkan abu vulkanik yang keluar secara terus menerus sampai jarak 6-7 kilometer. Hal ini disebabkan oleh perubahan komposisi magma, dari basaltik yang cair menjadi andesitik yang kental, dengan kandungan Silika (SiO2) tinggi.

“Kandungan SiO2 yang tinggi membuat magma lebih kental dan berpotensi menghasilkan letusan eksplosif,” ungkapnya.

Sejak awal November 2024, Lewotobi menunjukkan peningkatan aktivitas seismik yang signifikan. Pada 3 November 2024, erupsi besar memunculkan kolom abu setinggi beberapa kilometer, yang disusul oleh aktivitas fluktuatif, naik-turun dalam waktu singkat.

“Biasanya, gunungapi yang mulai ‘sembuh’ menunjukkan penurunan aktivitas secara bertahap. Namun, pada Lewotobi, intensitasnya justru naik-turun seperti ‘batuk’ yang belum tuntas,” tambahnya.

Kondisi ini, lanjutnya, menandakan bahwa aktivitas vulkanik di dalam dapur magma atau perut gunung belum stabil dan memerlukan pemantauan ketat.

Dalam langkah mitigasi, pemerintah telah mengevakuasi ribuan warga dari radius 9 kilometer puncak Gunung Lewotobi, untuk menghindari risiko dari aktivitas vulkanik. Beliau juga menjelaskan bahaya utama selain letusan eksplosif adalah lahar dingin yang terbentuk saat hujan deras bercampur dengan abu vulkanik yang mengendap di lereng gunung.

“Musim hujan bisa menambah risiko letusan, karena air yang meresap ke dalam pori batuan meningkatkan tekanan di dalam gunung, menurunkan daya dukung batuan penutup serta mengerosi tudung gunung api yang membuat potensi letusan menjadi lebih mudah terjadi. Selain itu, endapan abu di lereng yang terkena air bisa berubah menjadi lahar dingin atau lahar hujan yang mematikan," paparnya.

Langkah Mitigasi

Terdapat beberapa poin dari Dr. Mirzam terkait langkah mitigasi. Beliau mengingatkan kepada masyarakat yang berada dalam radius beberapa kilometer dari tempat kejadian, untuk segera mengikuti instruksi untuk evakuasi dari pihak berwenang dan menghindari area yang rawan seperti lereng dan bantaran sungai yang berpotensi menjadi jalur lahar dingin.

Beliau pun mengingatkan mengenai pemakaian masker basah bagi warga setempat. "Abu vulkanik yang berbahaya bagi pernapasan perlu diantisipasi dengan masker basah. Abu vulkanik yang terkena air akan mengeras seperti semen, sehingga masker basah membantu mencegah masuknya abu ke paru-paru,” jelasnya.

Selain itu, masyarakat juga perlu mewaspadai bahaya sekunder dari curah hujan ekstrem. Selain letusan langsung, cuaca ekstrem juga dapat memicu bahaya tambahan di gunung api, seperti longsor pada kubah lava yang bisa memicu letusan sekunder atau aliran lahar.

Peningkatan curah hujan ini, sebutnya dapat menambah risiko bagi kestabilan aktivitas gunungapi. “Seperti minyak panas yang terkena tetesan air, hujan bisa memicu letusan mendadak jika air meresap ke dalam sistem magma. Selain itu, curah hujan ekstrem dapat mengikis lereng, menambah risiko longsor pada dinding lava yang rapuh," katanya.

Beliau juga menyebutkan aktivitas vulkanik terpantau pula di beberapa gunung lain di Indonesia, termasuk Gunung Merapi, Gunung Semeru, Gunung Dukono, dan Gunung Ibu. Para ahli berspekulasi tentang kemungkinan pengaruh cuaca ekstrem terhadap peningkatan aktivitas gunung-gunung tersebut.

Untuk memahami aktivitas vulkanik yang belum stabil ini, tim dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) terus melakukan pemantauan dengan analisis sampel batuan dan komposisi magma. “Sampel batuan dapat memberikan informasi tentang tekanan dalam magma, membantu kita memprediksi apakah aktivitasnya akan segera berakhir atau justru meningkat,” pungkasnya.

Pemantauan berkesinambungan sangat penting untuk mengantisipasi letusan yang lebih besar, dan seluruh masyarakat diminta untuk waspada dan mengikuti arahan pihak berwenang.

Reporter: Fahrul Rozi Subakti (Teknik Geodesi dan Geomatika, 2021)

#erupsi #ahliitb #gunungapi