Kuliah Umum SITH ITB Bahas Pengelolaan Kawasan Konservasi di Indonesia dan Dunia

Oleh Adi Permana

Editor Adi Permana

*Sumber: Cianjurkab.go.id

BANDUNG, itb.ac.id—Program studi Biologi ITB menyelenggarakan kuliah umum dengan tema ‘National Park Management in Indonesia and Around the World.’ Kegiatan ini diselenggarakan pada Jumat (5/11/2021) secara daring.

Menurut Dr. Sofiatin, S.Hut., M.Si., kuliah umum ini biasa digelar setiap semester ganjil dan menjadi bagian dari mata kuliah Biokonservasi. “Kami mengundang berbagai institusi yang berkaitan dengan konservasi secara insitu maupun exsitu,” tuturnya dalam sambutan.

Kepala Taman Nasional (TN) Way Kambas, Kuswandono, S.Hut., M.P., menjadi pembicara dalam kegiatan ini. Pemaparan bermula dari sejarah konservasi di Indonesia. Gagasan ini berasal dari Dr. Sijfert Hendrik Koorders yang mendirikan Perhimpunan Perlindungan Alam Hindia Belanda, pada tahun 1912. Selepas Indonesia merdeka, 5 taman nasional lahir bersamaan pada 6 Maret 1980, yakni TN Gunung Leuser, TN Ujung Kulon, TN Gunung Gede Pangrango, TN Baluran, dan TN Komodo.

“Ada tiga prinsip konservasi yang harus dipatuhi, yaitu perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, serta pemanfaatan lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya,” ucap Kuswandono.

Sistem penyangga kehidupan yang dibicarakan adalah siklus air. Siklus ini memegang peranan vital bagi kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Hilangnya hutan sebagai daerah tangkapan hujan di gunung akan menyebabkan bencana di hilir. Dalam prinsip pengawetan ia menganalogikannya seperti hikayat Nabi Nuh yang membawa beraneka ragam hewan secara berpasangan dalam bahteranya ketika air bah datang. Hal ini digunakan untuk menyelamatkan kehidupan di muka bumi. Sementara pemanfaatan lestari akan menguntungkan manusia, flora, fauna, dan ekosistem yang menunjangnya.

Taman nasional menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, merupakan salah satu fungsi hutan, bukan status hutan. Ia masuk ke dalam hutan konservasi dan merupakan kawasan pelestarian alam.

Kuswandono berfokus pada pemaparan pengelolaan kawasan konservasi di 3 TN di Indonesia. Ketiganya adalah TN Gunung Leuser, TN Gunung Ciremai, dan TN Way Kambas. “Latar belakang penunjukan taman nasional itu berbeda-beda, satu sama lain juga memiliki karakteristik yang tak seragam,” jelasnya.

TN Gunung Leuser merupakan gabungan dari beberapa hutan konservasi, hampir semuanya adalah suaka margasatwa dan memiliki hutan penyangga yang ideal. Kawasannya dibagi menjadi kawasan inti, penyangga, dan peralihan yang memiliki perlakuan tersendiri dalam mengelolanya.

*Sumber foto: wikimedia

Sementara TN Gunung Ciremai tidak memiliki hutan penyangga dan berada di kawasan gunung soliter yang dikepung 54 desa dengan pertanian sebagai penggerak utama perekonomian masyarakatnya. Secara ekologis, hal ini akan berdampak pada kelangsungan keseimbangan ekosistem setempat karena penggunaan pupuk dan pestisida kimia. Karena itu, pengelolaan TN Gunung Ciremai juga menggunakan pendekatan dalam aspek sosial budaya dan ekonomi.

Tantangan berbeda dihadapi oleh pengelola TN Way Kambas. Wilayahnya cenderung datar dan tidak terlalu luas. Taman nasional ini menjadi habitat kunci bagi gajah Sumatera, harimau Sumatera, dan badak Sumatera. Situasi tak ideal yang dihadapi adalah gajah membutuhkan wilayah jelajah yang luas. Seringkali terjadi konflik dengan masyarakat karena memasuki wilayah pemukiman penduduk.

*Sumber foto: wikimedia

Berbagai taman nasional di Indonesia juga terus berjibaku untuk memerangi masalah kebakaran hutan dan perburuan liar yang sangat merugikan kegiatan konservasi.

Kuswandono selanjutnya menerangkan beberapa pengelolaan taman nasional di beberapa negara, seperti TN Yellowstone USA, TN Mountain Devil Australia, dan TN Koeladeo India.
Pada akhir pemaparannya, ia menggarisbawahi kembali peran kawasan konservasi. “Kawasan konservasi menjadi penyangga kehidupan dan tempat bergantung manusia serta flora maupun fauna. Pengawetan keanekaragaman hayati ini akan menjaga proses ekologi maupun keseimbangan ekosistem. Kelestarian kawasan konservasi menjadi tanggung jawab bersama,” pungkasnya.

Reporter: Maharani Rachmawati Purnomo (Oseanografi, 2020)