Guest Lecturing SBM: Customer Relationship Management in PT Parit Padang
Oleh Krisna Murti
Editor Krisna Murti
Sabtu, 29 April 2006, Sekolah Bisnis dan Manajemen (SBM) ITB kembali mengadakan kuliah tamu bertemakan pembentukan Customer Relationship Management. Hadir sebagai pembicara Richard Lumbantobing,
Corporate Training and Development Manager Soho Group. Kuliah tamu ini mengambil contoh kasus PT Parit Padang, anak perusahaan Soho Group, tempat Richard bekerja.
Soho group sendiri memiliki tiga anak perusahaan, dua perusahaan farmasi manufaktur: PT Soho Industri Pharmasi, PT Ethica Industri Pharmasi; dan sebuah perusahaan distribusi farmasi, PT Parit Padang. Kuliah diawali oleh richard dengan memberikan gambaran kompetisi ketat dalam dunia bisnis distribusi farmasi. Pasar farmasi indonesia yang nilainya mencapai 12 triliyun ini memiliki 300 perusahaan manufaktur dan diperebutkan oleh 1600 distributor nasional resmi dan 30 pemain asing. "Belum lagi distributor yang gak terdaftar dan pasar gelap," tambah Richard. Tekanan persaingan semakin menyakitkan dengan adanya kecenderungan kenaikan biaya operasional. "Daripada menaikkan harga dengan risiko gak laku, kita terpaksa mengurangi margin profit."
Tantangan di luar fakta ngeri mengenai kondisi persaingan bisnis sekarang ini berasal dari perspektif internal. Salah satunya adalah masalah pembajakan sumber daya manusia. Banyak headhunters yang 'mencuri' pekerja-pekerja handal untuk perusahaan lain yang bersedia memberi pendapatan lebih. Selain itu, sebagai perusahaan distribusi, PT Parit Padang juga memiliki tantangan untuk menyinkronkan basis data dan sistem informasi perusahaan yang tersebar di berbagai kantor cabang.
Di aspek pelanggan, Richard mengakui bahwa dua kelemahan di aspek pelanggan adalah kurangnya pengetahuan akan pelanggan dan minim sejarah pelanggan. Bagi sebuah perusahaan distribusi semacam Parit Padang, relasi dengan pelanggan memiliki posisi krusial dan pasti dinomorsatukan. Contoh pengetahuan akan konsumen termasuk didalamnya bagaimana bisa menarik perhatiannya, karakternya, bahkan hingga sensitivitas harga masin-masing. Sulitnya, masalah ini umumnya timbul pada level eksekutor. "Kalo level manajer ke atas itu sih pastinya ngerti," tutut Richard, "Yang biasanya gak paham tentang pelanggan itu level supervisor dan apalagi sales." Yang menjadi masalah, menurut Richard, adalah karena kebanyakan level eksekutor hanya berpikir sederhana dan pendek. "Bagi mereka yang penting hanya bagaimana menjual produk yang harus mereka jual dengan cara mereka sendiri. Gak ada pikiran tentang metode-metode alternatif atau pikiran tentang menjalin pertemanan supaya pelanggan lebih loyal." Pentingnya sumber daya manusia dalam perusahaan distribusi diakui oleh Richard. “Tiga unsur perusahaan distribusi adalah gudang, sistem, dan orang,” ujarnya, “Yang terakhir itu adalah yang terpenting.”
Sekian banyak tantangan dan kesulitan itu, utamanya dalam aspek hubungan dengan pelanggan, hendak diatasi oleh PT Parit Padang dengan Customer Relationship Management (CRM). Diharapkan dengan adanya CRM, terbangun hubungan baik jangka panjang dengan pelanggan. CRM akan dapat mengerti dan mengantisipasi kebutuhan pelanggan. “Konsep CRM muncul dengan kesadaran bahwa bisnis bukan sekedar menang-menangan teknologi,” tutur Richard. Dalam kerangka ini, Richard juga memaparkan mengenai PT Parit Padang yang juga sedang dalam tahap mengimplementasi konsep balanced scorecard dengan target tahun ini, masuk hall of fame Balance Scorecard. “Kita berharap dengan begini akan ada integrasi kuat antara strategi, orang, dan teknologi.”
Perubahan adalah kunci utama dari solusi CRM. Diakui oleh Richard, sebagai hal yang tidak mudah. “Orang takut berubah!” tuturnya. Lalu Richard mencontohkan para salesman yang sudah ada di PT Parit Padang semenjak perusahaan ini berdiri. Mereka merasa nyaman dan cukup dengan sistem yang ada. “Wong gini aja tetep untung kok,” ujar Richard menirukan alasan para salesman sepuh itu. Richard mengungkap bahwa banyak dari para salesman dan supervisor, terutama dari generasi lama, berpikir sempit. Mereka kebanyakan hanya menggunakan kaca mata kuda. Bagi mereka, mereka menjual produk demi gaji. Tidak ada rasa kepemilikan atau perspektif lebih luas bahwa kinerja mereka akan berkontribusi pada perusahaan; dan saat perusahaan untung lebih, mereka juga bisa menerima lebih. Perspektif yang sempit inilah yang hendak diubah oleh Richard. “Mereka harus punya perspektif yang lebih luas, supaya mereka pun lebih inovatif,” tuturnya, “supaya mereka bisa menjalin hubungan dengan pelanggan dengan lebih baik.”