ITB-Pertamina Wujudkan Katalis Merah Putih Pertama di Indonesia

Oleh Fivien Nur Savitri, ST, MT

Editor Fivien Nur Savitri, ST, MT


BANDUNG, itb.ac.id - Mampu membuat resep dan memproduksi katalis sendiri, memberikan harapan besar untuk segera mewujudkan kemandirian bangsa terhadap kebutuhan katalis yang sebagian besar didapat dari impor.

Tentunya bukan tanpa alasan bagi industri, bila katalis impor dinilai lebih murah dan praktis. Katalis impor dalam hitung-hitungan diatas kertas lebih menguntungkan dalam jangka waktu tertentu dibandingkan harus merintis pembuatan katalis sendiri.

Pasalnya, biaya untuk riset dan merintis pembuatan katalis memerlukan biaya yang tidak sedikit, dan memerlukan waktu panjang. Dikutip dari buku orasi ilmiah Prof. Subagjo berjudul “Merintis Kemandirian Bangsa Dalam Teknologi Katalis”, saat ini dari seluruh katalis yang digunakan industri, sebenarnya hanya 40% yang dijual bebas di pasaran, lainnya (60%) diproduksi untuk digunakan sendiri oleh industri pengembangnya. 

Disisi lain, industri kimia dalam negeri masih membutuhkan katalis impor untuk mempercepat reaksi kimia. Saat ini diperkirakan kebutuhan dunia akan katalis mencapai 21 Milyar dolar Amerika. Meskipun nilai tersebut tidak terlalu besar untuk ukuran dunia, namun nilai yang dibangkitkan dari penggunaan katalis itu bisa mencapai 11 - 15 Trilyun dolar Amerika. 

Menengok kebutuhan katalis di Indonesia, juga cukup besar, mencapai 500 juta USD dan hampir seluruhnya diimpor dari luar negeri. Hanya sebagian kecil saja yang dapat diproduksi di dalam negeri dengan membawa lisensi dari luar negeri. Dikatakan oleh Prof. Subagjo bahwa hanya ada satu pabrik di Indonesia yang memproduksi katalis dalam skala besar, yaitu yang berlokasi di Kawasan Industri Kujang Cikampek. 

ITB (Institut Teknologi Bandung), sebagai perguruan tinggi di bidang ilmu, teknologi   dan seni, sejatinya telah lama mengembangkan teknologi katalis melalui kerjasama dengan menggandeng berbagai perusahaan dan industri. Namun demikian, kerjasama tersebut tidak selalu mudah untuk dilakukan hingga menghasilkan katalis yang diminta. 


Hal itu disampaikan langsung oleh Prof. Subagjo pada saat orasi ilmiah di Aula Barat ITB, Sabtu (2/2/2018). “Upaya untuk membangun kerjasama dengan industri sudah kami mulai sejak tahun 1985. Tidak mudah, setelah sepuluh tahun upaya tersebut baru membuahkan hasil”, ungkap Prof. Subagjo.


Perjalanan Merintis Katalis Merah Putih

Dalam orasi ilmiahnya, Prof. Subagjo mengungkapkan perjalanan panjang para peneliti di ITB dalam menghasilkan katalis di Indonesia. Kemampuan katalis yang erat kaitannya dengan pemenuhan tuntutan efisiensi waktu, bahan baku, dan energi, serta pelestarian lingkungan menjadi parameter kesuksesan untuk membuat katalis dengan sifat dan kinerja yang baik.

Tahun 1983, Subagjo kala itu, bersama Dr. Irwan Noezar, Prof. Sudarno dan Prof. Soehadi Reksowardojo, berhasil mengembangkan Unit Pembangkit Hipoklorit, yaitu sebuah alat untuk mengkonversi larutan air garam dapur menjadi desinfektan air minum. “Unit tersebut sempat dibeli oleh Kementerian Kehutanan untuk desinfeksi air minum di daerah terpencil, namun sayangnya setelah Menteri Kehutanan RI diganti, pembelian terhenti.  Beberapa perusahaan air minum lebih memilih menggunakan kaporit impor daripada harus membangkitkan sendiri hipokhlorit dari larutan garam dapur, “ ujar Prof. Subagjo.

Tahun 1982, Prof. Subagjo bersama Prof. Sudarno, melakukan pengembangan katalis untuk perengkahan stearin yang merupakan sisa pabrik minyak goreng yang belum dimanfaatkan dengan baik. Menggunakan katalis zeolit, bahan sisa tersebut dapat dikonversi menjadi BBM terutama bensin. Lagi-lagi para peneliti ITB harus menerima kegagalan, proposal untuk pembuatan katalis tersebut ditolak industri karena dinilai tidak menguntungkan secara ekonomi.

Penolakan tersebut berujung pada melambatnya gerak penelitian para pakar teknik kimia di ITB. “Padahal akhir-akhir ini proses perengkahan minyak nabati merupakan alternatif yang menarik untuk menghasilkan ‘Bensin Hijau’, ” ujar Prof. Subagjo.

Tahun 1996, beberapa skema kerjasama dengan industri mulai dijalin. Bila sebelumnya, para peneliti menyodorkan proposalnya, maka tidak sejak tahun ini. Beberapa industri mulai menggandeng ITB untuk menghasilkan katalis yang dibutuhkannya.

Tahun 1996, PT. PIM (Pupuk Iskandar Muda) menggandeng ITB melalui skema kerjasama untuk mengembangakan adsorben H2S dalam gas bumi. Tiga tahun kemudian, di tahun 1999, peneliti ITB berhasil memperoleh formula adsorben yang memiliki kapasitas adsorpsi dua kali lipat kapasitas adsorben yang diimpor oleh PT. PIM.  Adsorben tersebut kemudian diberi nama PIMIT-B1, kepanjangan dari PIM-ITB kesatu. 

Tahun 2010, pabrik PIMIT-B1 berhasil dibangun, namun kondisi ini tidak bertahan lama, karena PT PIM mendapatkan pasokan gas yang lebih bersih, sehingga tidak dibutuhkan lagi adsorben PIMIT-B1. Sehingga harus memasarkan ke industri lain, dan ini menjadi persoalan baru yang juga tidak mudah, karena kepercayaan industri terhadap produksi dalam negeri tergolong rendah.


Tahun 2004, Pertamina menjalin kerjasama dengan ITB untuk penelitian dan pengembangan katalis Hydrotreating Nafta dilakukan oleh mahasiswa S3 ITB, Maria Ulfah, dengan dibantu mahasiswa S2 dan S1, dibawah bimbingan para pakar teknik kimia di ITB. Formula katalis Hydrotreating Nafta dengan kinerja baik diperoleh di Tahun 2007.

Tahun 2010, bersama Research and Development PT. Pertamina, katalis tersebut diuji coba menggunakan reaktor skala pilot, dan kemudian dinyatakan memiliki aktivitas lebih tinggi dibandingkan katalis komersial. Katalis ini kemudian diberi nama PITN 100-2T,  yaitu katalis Pertamina-ITB, dan dijuluki katalis merah putih pertama di Indonesia.

Tahun 2012, setelah pengujian di unit komersial selama 1 tahun, katalis merah putih dinyatakan memiliki unjuk kerja lebih baik dan lebih stabil dibandingkan katalis impor, sehingga PT Pertamina memutuskan selalu menggunakan katalis hasil pengembangan kerjasama ITB dengan Pertamina untuk proses Hydrotreating, baik untuk nafta, kerosin, maupun diesel. 

Tahun-tahun berikutnya, ITB mengembangkan lebih lanjut katalis PITN 100-2T, seperti PITD 120-1.3T yang merupakan hasil kerjasama Pertamina ITB untuk Treating Diesel (PITD). Dan kemudian berlanjut terbentuknya katalis PIDO 130-1.3T yaitu katalis yang mengkonversi minyak nabati menjadi hidrokarbon parafinik.

Prof. Subagjo mengatakan sangat gembira bahwa dalam perjalanan panjang tersebut dapat membawa ITB kembali mengambil perannya sebagai pandu menuju kemandirian bangsa di bidang teknologi katalis. 

“Hasil yang dicapai ini merupakan buah kerja panjang para peneliti di Laboratorium Teknik Reaksi Kimia dan Katalisis di Fakultas Teknik Industri ITB, yang tak lepas dari dukungan banyak pihak, juga militansi pihak-pihak (pemimpin industri) terkait,” pungkas Prof. Subagjo.


Dokumentasi Foto : Lab TRK ITB