Melihat Prospek Wisata Alam dalam Memasuki Era “New Normal”

Oleh Adi Permana

Editor Adi Permana

BANDUNG, itb.ac.id – Kelompok Keahlian Manajemen Sumber Daya Hayati (MSDH) yang tergabung dalam fakultas Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati (SITH) ITB mengadakan webinar bertajuk “Prospek Wisata Alam Memasuki New Normal” Selasa (23/7/2020) lalu. Webinar ini bertujuan untuk memberi gambaran rencana terkait lokasi wisata pada new normal akibat pandemi COVID-19.

Acara ini diisi oleh empat narasumber yang semuanya berhubungan dengan sumber daya alam dan pariwisata. Webinar ini dimoderatori oleh Dr. Sofiatin, Ketua Program Studi Magister Biomanajemen SITH ITB. Acara ini dibuka oleh sambutan dari Dr. Indra Wibowo, Wakil Dekan SITH Bidang Akademik.

Narasumber pertama yang juga sebagai keynote speaker yaitu Ir. Wiratno, M.Sc., Direktur Jendral Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem. Ia menjelaskan bahwa penutupan kawasan konservasi didasari oleh berbagai pertimbangan utama yaitu arahan pemerintah, social distancing, dan menghindari penyebaran dan penularan COVID-19. Terdapat 54 Taman Nasional, 134 Taman Wisata Alam, dan 80 Suaka Margasatwa yang ditutup untuk kunjungan wisata alam.

Seiring berlakunya Adaptasi Kebiasaan Baru (AKB), ia memaparkan terdapat beberapa kebijakan untuk reaktivasi pariwisata yang tertuang dalam empat poin prioritas, yaitu kesehatan dan keamanan, potensi wisatawan domestik, pemanfaatan teknologi infomasi, dan kolaborasi untuk pemulihan pariwisata.

“Sampai saat ini rencana pembukaan kembali daerah wisata sekitar 29 site, lalu persiapan pembukaan hanya untuk daerah kabupaten zona kuning dan hijau. Memulai dari 10%-20% pengunjung, sebelum dibuka perlu dilakukan simulasi terpadu di setiap titik, pada pembukaan hanya dibuka satu titik agar bisa terkontrol, dan evaluasi setiap minggu oleh tim untuk memastikan kesehatan dan keamanan,” tuturnya.

Dampak Wabah terhadap Wisata

Narasumber kedua adalah Ir. Dicky Yuana Rady, Kadiv Regional Perhutani Jabar – Banten. Ia menjelaskan terkait dampak wabah COVID-19 terhadap wisata alam di daerah Jawa Barat dan Banten. Penutupan sementara lokasi wisata alam membuat pendapatan dan kunjungan turun sampai 100% sehingga membuat perputaran roda ekonomi terhambat dan menurunkan daya beli masyarakat.

“Divreg Janten (Jabar–Banten) memiliki total 196 lokasi wisata yang tersebar di daerah Bogor (36), Priangan Timur (60), dan Bandung (100). Tentu saja hal ini membuktikan bahwa sektor pariwisata adalah yang paling pesat,” ujar Dicky.

Hal tersebut diperkuat oleh data yang dihimpun oleh Perhutani. Berdasarkan data, penurunan jumlah pendapatan daerah pada tahun 2020 sekitar 54% jika dibandingkan dengan 2019 dalam rentang Januari – Mei. Penurunan pendapatan sebanding dengan penurunan jumlah pengunjung. Pada 2019 terdapat 1.303.775 pengunjung, namun pada 2020 hanya terdapat 613.209 pengunjung wisata alam dalam rentang Januari – Mei. Terdapat penurunan yang signifikan.

Hal inilah yang mendorong adanya upaya pembukaan kembali lokasi wisata alam untuk memperkuat roda ekonomi masyarakat. Adapun kepentingan lain bagi masyarakat berdasarkan rapat koordinasi jajaran pemerintah dalam rangka membuka kawasan wisata alam adalah kebutuhan mengatasi kebosanan (psikologis), peningkatan ekonomi masyarakat (UKM), mengembangkan dunia usaha (pemasukan dan pengeluaran), dan percepatan pemulihan kawasan terbengkalai (restorasi).

“Pembukaan kembali kawasan konservasi juga harus didukung oleh kesiapan kawasan konservasi, kesiapan dan dukungan lembaga-lembaga terkait, koordinasi dengan pemerintah daerah, serta sarana pendukung wisata lainnya bahkan sampai hal terkecil seperti surat pernyataan kesanggupan, publikasi lokasi, dan pembayaran secara cashless,” tutup Ir. Dicky.

Nilai Manfaat Wisata Alam di Era New Normal

Narasumber ketiga adalah Dr. Yooce Yustiana, Ketua Kelompok Keilmuan Manajemen Sumber Daya Hayati (MSDH) SITH-ITB. Ia menjelaskan tentang nilai manfaat wisata alam di era new normal. Menurutnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia cukup bagus karena berdasarkan data kuartal pertama 2020, pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 2,97% yang melampaui Jepang, China, Singapura, bahkan Amerika. Pertumbuhan di Indonesia sangat dipengaruhi oleh tiga sektor jasa, yaitu keuangan dan asuransi, informasi dan komunikasi, serta kesehatan dan sosial. Hal ini sejalan dengan tema pembangunan tahun 2021 dalam rangka mempercepat pemulihan dan reformasi sosial dengan berfokus pada pemulihan industri, pariwisata, dan investasi.

Penentuan nilai manfaat mengikuti paradigma atau konsep antroposentris (konsep utilitarian) tergantung kepada prinsip kepuasan manusia di dalam memenuhi kesejahteraannya. Karena nilai itu sendiri merupakan presepsi manusia terhadap makna suatu objek bagi orang tertentu dan pada waktu tertentu. Tentunya persepsi dipengaruhi oleh norma-norma kehidupan yang melekat pada kehidupan manusia itu sendiri, kemudian bagaimana latar belakang individu atau masyarakat.

“Menurut saya pariwisata ini merupakan momentum bagi Indonesia, terutama kawasan wisata konservasi alam. Menurut World Travel Tourism Council (WTTC), pariwisata di Indonesia adalah peringkat ke-9 di dunia, peringkat ke- 3 di Asia, dan peringkat ke-1 di Asia Tenggara” tutup Dr. Yooce.

Narasumber keempat adalah Dr. Hikmat Ramdan, Anggota Kelompok Keilmuan Manajemen Sumber Daya Hayati (MSDH) SITH ITB, yang menjelaskan perihal ‘prospek healing forest di era new normal’. Healing forest menjadi suatu konsep yang potensial untuk dikembangkan dalam kehutanan karena berhubungan dengan masalah kesehatan dan psikologi.

Selama wabah COVID-19 terjadi, tentunya manusia seperti berada di dalam ‘sangkar’. Hal ini akan memunculkan reaksi emosional yang dinamakan ‘cabin fever syndrome’, yaitu reaksi emosi yang muncul akibat terlalu lama menjalani isolasi atau karantina di dalam rumah atau satu tempat dalam waktu yang lama. Ada 15 gejala yang muncul dalam reaksi ini yaitu merasa gelisah, mudah tersinggung, motivasi turun, jenuh berkepanjangan, sulit konsentrasi, suasana hati tidak jelas, tidak sabaran, merasa letih, tidak percaya kepada orang lain, dan perubahan pola tidur. Maka dari itu new normal menjadi kesempatan untuk memperbaiki psikologi seseorang akibat karantina yang terlampau lama.

“Dibukanya kawasan wisata di era new normal dapat menjadi kesempatan bagi masyarakat untuk menyembuhkan diri sendiri dengan pergi menuju kawasan konservasi alam dan menikmati lingkungan sekitarnya,” ujar Dr. Hikmat.

Ia menjelaskan bahwa secara filosofis, healing forest menjelaskan bagaimana menghubungkan manusia dengan alam. Kawasan alam terutama hutan memiliki aspek ekologi yang beragam begitupun manusia juga merupakan makhluk ekologis yang selalu membutuhkan apapun yang alam butuhkan. Selanjutnya secara terminologi, fungsi daripada healing forest pada psikologi manusia dapat didefinisikan dengan baik secara praktikal dengan menghubungkan manusia dengan alam melalui panca indranya.

Spot healing forest adalah tempat di kawasan hutan yang memiliki jasa kesehatan. Tentu hal tersebut diidentifikasi sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 7 Tahun 2019 dengan data spasial yang meliputi temperatur, kelembapan relatif, intensitas cahaya, kemiringan (10%-15%), tutupan lahan, kesunyian, dan kecepatan angin. Data ini dapat diperoleh berdasarkan proses mapping dengan data SRTM (DEMNAS) maupun scanning langsung menggunakan perangkat terbang (drone).

“Wisata dengan tujuan healing hanya dilakukan di spot-spot yang memiliki healing services, pengutamaannya adalah menghubungkan diri dengan alam (connected to nature), serta menimbulkan rasa labih nyaman setelah mengunjungi tempat tersebut. Tentunya berbeda dengan wisata pada umumnya yang bergerombol, wisata healing dilakukan secara mandiri,” tutup Dr. Hikmat.

Reporter: Afif Naufal Harman (Teknik dan Pengelolaan Sumber Daya Air, 2017)