Mengenal Kemasan Pangan yang Berkelanjutan Lewat Kuliah Umum Teknik Pangan ITB

Oleh Adi Permana

Editor Adi Permana


BANDUNG, itb.ac.id – Plastik merupakan material yang paling umum untuk dimanfaatkan sebagai kemasan berbagai jenis produk, tak terkecuali produk pangan. Namun, pemanfaatan plastik sebagai bahan dasar kemasan juga menimbulkan masalah besar bagi alam Indonesia. Hal itu karena banyaknya sampah plastik yang terbuang di lautan dan juga sifat plastik secara umum yang tak dapat diuraikan dengan cepat.

Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), pada tahun 2020 wilayah lautan Indonesia sudah tercemar oleh sekitar 1.772,7 gram sampah per meter persegi dan bisa diperkirakan bahwa jumlah sampah di laut Nusantara secara keseluruhan sudah mencapai 5,75 juta ton.

Maka dari itu, diperlukan langkah lebih lanjut untuk menanggulangi masalah ini. Salah satu terobosan yang sedang diperjuangkan pada industri kemasan saat ini adalah circular packaging.

Melalui kuliah tamu pada mata kuliah PG3205 Pengemasan Pangan dari program studi Teknik Pangan FTI ITB, Senior Manager Sustainability Strategy and Circular Economy SABIC, Shandy Francisca menjelaskan tentang pergerakan Saudi Arabia's Basic Industries Corporation (SABIC) dalam memproduksi kemasan yang berkelanjutan dan ramah lingkungan pada Selasa (18/4/2022).

Alumni Teknik Kimia ITB itu mengatakan, kemasan plastik yang berkelanjutan setidaknya terdiri dari 80% material polyolefins, mono polipropilen (Mono PP) atau mono polietilen (PE) dengan densitas di bawah 1 gram per sentimeter kubik. Selain itu, material seperti PVC, PVDC, PET, Alumunium Foil, dan Fibres tak boleh digunakan.

Sementara itu, material polimer lainnya seperti PA dan EVOH hanya boleh digunakan hingga batas 10%. Sedangkan ketentuan kemasan aluminium yang berkelanjutan hanya perlu memenuhi kriteria kandungan aluminium lebih dari 50%. Terakhir, ketentuan kemasan kertas yang berkelanjutan hanya perlu memenuhi kriteria kandungan fibres lebih dari 50% dengan lapisan terluar yang juga harus terbuat dari kertas.

Ia menambahkan, dalam menciptakan kemasan yang berkelanjutan, terdapat beberapa langkah yang harus ditempuh. Pertama, mengurangi penggunaan plastik dengan cara menciptakan kemasan dengan kekuatan yang lebih baik, menggunakan material dengan densitas yang lebih rendah, dan menghilangkan bagian-bagian yang tidak fundamental.

Langkah kedua adalah melakukan perancangan ulang untuk menghasilkan kemasan yang dapat didaur ulang seperti memberikan QR Code untuk MRF atau fasilitas daur ulang yang menggabungkan beberapa teknik pengolahan sampah semaksimal mungkin dengan residu yang seminimal mungkin.

“Langkah eksternal yang harus ditempuh juga adalah meningkatkan kesadaran produsen untuk menciptakan kemasan yang dapat didaur ulang, dan terakhir adalah peningkatan penggunaan bahan daur ulang melalui metode mechanical recycling dan advanced recycling,” ujarnya.

Menurutnya, terdapat beberapa tantangan utama dalam rantai nilai daur ulang. Mulai dari ketersediaan bahan baku, konsistensi kualitas bahan mentah, konsistensi warna dan aroma, kemampuan bahan untuk diproses, properti mekanis bahan baku, performa produk akhir, hingga keamanan produk.

Shandy mengatakan, di sisi lain, berbagai tantangan yang dihadapi dalam menciptakan kemasan yang berkelanjutan berkaitan dengan sisi kesadaran produsen, sisi logistik dan rantai pasok, komposisi limbah, dan biaya yang dibutuhkan.

“Maka dari itu, diciptakan konsep ‘from linear to circular’ yang dapat mengurangi 2 kilogram karbon dioksida per kilogram kemasan yang diproduksi dari polyolefin yang digunakan untuk menghindari pembakaran,” ujarnya.

Konsep tersebut lanjutnya, memanfaatkan proses advanced recycling sebelum proses steam cracker dan juga memanfaatkan proses mechanical recycling and reuse sebelum proses konversi PE dan PP dari pabrik polimer.

Reporter: Yoel Enrico Meiliano (Teknik Pangan, 2020)