Mining Talks ISMC XIV: Transisi Energi Berkelanjutan untuk Mencapai Net Zero Emission dari Kacamata Para Ahli

Oleh M. Naufal Hafizh

Editor M. Naufal Hafizh

BANDUNG, itb.ac.id — Sejak beberapa dekade terakhir, bumi mengalami pemanasan global. Atmosfernya dipenuhi oleh emisi karbon yang sering disebut gas rumah kaca (GRK) karena efeknya yang memerangkap panas bagaikan rumah kaca untuk lahan pertanian. Menyikapi persoalan ini, pemerintah Indonesia berkomitmen untuk penurunan emisi GRK sebesar 29 persen pada tahun 2030 dan Net Zero Emission (NZE) pada 2060.

Transisi energi adalah salah satu hal yang dapat dilakukan karena sektor energi menyumbang GRK terbesar dibandingkan dengan industri, pangan, dan transportasi. Ketergantungan akan penggunaan energi dan mineral ini mau tidak mau harus disesuaikan untuk mencapai NZE.

Di tengah isu transisi energi yang sedang santer diperbincangkan, Himpunan Mahasiswa Tambang (HMT ITB) menggagas Mining Talks untuk memberikan wawasan baru dan menjawab tantangan di masa depan. Kegiatan ini merupakan salah satu rangkaian dari The 14th Indonesian Student Mining Competition (ISMC XIV). Gelar wicara tersebut diisi berbagai pakar transisi energi dengan latar belakang perusahaan, pemerintah, maupun peneliti. Mining Talks dilangsungkan pada Sabtu (24/02/2024) di Aula Timur ITB.

Pembicara utamanya adalah Sandes Tambun, Direktur PT Mineral Alam Abadi, yang bergerak pada penambangan nikel. “Lithium Iron Phosphate (LFP) belakangan ini digadang-gadang menjadi salah satu sumber energi yang ramah lingkungan. Harganya lebih murah dan ketahanannya lebih unggul dibandingkan baterai nikel. Akan tetapi, LFP tetap membutuhkan komponen nikel, peran mineral logam tidak bisa diabaikan. Penambangan nikel bukanlah proses yang singkat dan mudah. Sebagai orang yang berkecimpung di dunia pertambangan, aspek lingkungan harus selalu diperhatikan. Percuma NZE tercapai, tetapi lingkungan kita rusak dan tergadai,” ujarnya.

   

Indonesia juga sedang mengupayakan pengembangan potensi Energi Baru Terbarukan (EBT), seperti air, angin, surya, dan panas bumi. Dari total potensi yang ada, energi yang dihasilkan mencapai 3.867 GW. Namun, pemanfaatannya baru berkutat di angka 13.155 MW. Hal itu disampaikan oleh Direktur Aneka Energi Baru dan Terbarukan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia, Andriah Feby Misna, S.T., M.T., M.Sc.

“Kita targetkan NZE itu terealisasi pada 2060. Strategi untuk mencapainya adalah dengan elektrifikasi di bidang transportasi, industri, maupun rumah tangga, pengembangan EBT, moratorium Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), menggalakkan teknologi Carbon Capture, Utilization and Storage (CCUS) bagi sektor yang tidak bisa dipisahkan dengan batu bara, mengembangkan sumber energi baru dari hidrogen dan amonia, serta menerapkan efisiensi energi,” katanya.

Dalam pengembangan EBT, Indonesia mengacu pada Long-Term Strategy on Low Carbon and Climate Resilience (LTS-LCCR) 2050 dan The Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP). Meski terdapat kemajuan positif dalam pengembangannya, namun Indonesia masih kurang ambisius dan jauh dari target NZE. Pernyataan tersebut disampaikan oleh Huud Alam, enterprise implementation specialist di ZEROe. “Kolaborasi harus dilakukan untuk memastikan transisi energi ini berjalan sesuai yang dicanangkan pada Paris Agreement,” ujar alumnus Teknik Pertambangan ITB 2013 ini.

   

Pada kesempatan ini, Ardhin Twistya Yuniar S.T., M.B.A, IPM., Vice President GeoEngineering & Environmental PT Freeport Indonesia (PTFI) menjelaskan mengenai tembaga sebagai logam masa depan.

“Tembaga yang kami produksi berperan penting dalam pengurangan karbon global sebagai komponen kritis yang diperlukan dalam low-carbon economy dan highly electrified energy,” ujarnya.

Terakhir, materi disampaikan oleh Aqsha, S.T., M.Sc., Ph.D., EIT., peneliti di Pusat Penelitian Energi Baru dan Terbarukan ITB tentang implementasi transisi energi berkelanjutan pada sektor industri di Indonesia.

Beliau menyebut pembangunan berkelanjutan harus diterapkan untuk memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhannya. Menurutnya, kunci utama bagi Indonesia untuk memitigasi emisi GRK adalah pengalihan penggunaan batu bara ke chemical dan peningkatan efisiensi didampingi oleh peningkatan bauran EBT.

Reporter: Maharani Rachmawati Purnomo (Oseanografi, 2020)