Penyebab Naik Turun Industri Hulu Migas Indonesia
Oleh Adi Permana
Editor Adi Permana
*Foto: freepik
BANDUNG, itb.ac.id—Serial webinar Teknik Geologi ITB bertajuk Geologi ITB Menyapa hadir kembali dengan episode barunya. Pada episode ke-18, tema yang diangkat ialah “Tantangan Eksplorasi dan Masa Depan Industri Hulu Migas Indonesia”, Sabtu (2/8/2021). Pada serial webinar ini, Teknik Geologi ITB mengundang Technical Advisor Kementerian ESDM Nanang Abdul Manaf sebagai pembicara. Rekam jejaknya dalam industri eksplorasi migas membuat partisipan antusias mengikuti jalannya acara dengan seksama.
Webinar dibuka dengan sambutan oleh Agus Mochammad Ramdhan, Ph.D., yang menjelaskan peran penting industri migas untuk masa depan. Katanya, walaupun energi transisi mulai digencarkan, tetapi migas akan tetap menjadi energi utama di waktu sekarang dan masa mendatang. Sehingga, eksplorasi migas merupakan tantangan yang sangat besar bagi kita seiring perkembangan teknologi karena Indonesia masih tertinggal dengan negara tetangga dalam hal eksplorasi migas.
Pada sesi pemaparan, Nanang Abdul Manaf menjelaskan bahwa lifetime hulu migas bergantung kepada jumlah cadangan yang dimiliki untuk mendukung produksi setiap harinya di masa mendatang dan eksplorasi menjadi kunci penting di dalamnya. Namun, eksplorasi migas Indonesia justru masih kurang dan sangat penting untuk dibahas.
Latar belakang utama industri migas di Indonesia menurun adalah produksi migas yang turun sedangkan konsumsi terus meningkat. Hal ini menimbulkan Current Account Deficit (CAD). Nanang menyebutkan bahwa di tahun 2018, CAD defisit hingga menyentuh angka 31,1 miliar dolar atau setara dengan 439 triliun rupiah.
Selain itu, area eksplorasi di daerah frontier seperti laut dalam masih belum terjamah. Sedangkan, lapangan di daerah on shore sebagian besar berumur tua dengan produktivitas rendah dan biaya yang dibutuhkan tinggi. Sehingga membutuhkan dana investasi yang besar.
Dalam presentasinya, Nanang juga menunjukan bukti ketertinggalan Indonesia dalam industri migas. Pertama, berdasarkan lead time Indonesia. Menurut data statistik SKK Migas (2020), lead time Indonesia dari proses discovery hingga produksi membutuhkan waktu 10,5 tahun. Hal ini tentu sangat lama dibandingkan tahun-tahun sebelumnya dan terlalu lama untuk pengembalian investasi.
Kedua, potret iklim investasi hulu migas Indonesia. Merujuk Kata Data (2020), Indonesia berada di peringkat 79 dan lebih rendah dibandingkan negara tetangga. Hal ini menjadi masalah penting karena negara di seluruh dunia saling berlomba untuk memperebutkan investasi dari perusahaan luar.
Ketiga, profil produksi minyak Indonesia. Berdasarkan data statistik SKK Migas (2020), Indonesia pernah mencapai puncak produksi minyak mencapai hampir 1,6 juta barel/hari dan menjadi anggota Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC) di tahun 1997. Menurut Nanang, hal ini bisa terjadi karena konsumsi akan kebutuhan migas saat rendah sehingga 500.000-600.000 barel bisa diekspor. Akan tetapi, dari tahun ke tahun produksi menurun dan konsumsi meningkat. Sehingga titik pertemuan antara jumlah produksi dan konsumsi yakni di tahun 2004 sebesar 1,2 juta barel/hari sehingga tidak ada sisa untuk diekspor kecuali LNG.
Di tahun berikutnya keadaan terbalik. Indonesia yang semula negara eksporter menjadi negara importer minyak. Hingga terjadi penemuan di Hiu Kerisi dan Belanak produksi minyak naik sementara, tetapi kemudian turun. Sempat meningkat di tahun 2016 ketika ditemukan Banyu Urip, tetapi tidak bertahan lama dan terus turun kembali hingga pertengahan Agustus 2021 rata-rata produksi minyak Indonesia menyentuh angka 670.000 barel per hari.
Keempat, profil kegiatan eksplorasi minyak Indonesia. Menurut data statistik SKK Migas (2020), pada tahun 2011-2014 dapat dibilang tahun emas kegiatan eksplorasi minyak Indonesia. Biaya investasi untuk 29 sumur sebesar 2,1 billion USD tetapi yang didapatkan mayoritas sumur kering. Menurut Nanang, hal ini menjadi titik balik eksplorasi dan merubah mindset eskplorer.
“Indonesia bukan lagi area yang mudah melainkan sangat sulit dan mahal sehingga banyak investor yang tidak berani berinvestasi di Indonesia,” ungkapnya.
Menyikapi hal ini tentu tidak bisa hanya berdiam diri tanpa tindakan. Ketua Ikatan Alumni Geologi ITB itu menambahkan bahwa eksplorasi harus terus dilakukan. Setiap barel produksi dimulai dari new field wildcat well yang dibutuhkan adalah prospektivitas bagus, data bagus, evaluasi solid, terjadi integrasi semua data, model geologi solid sehingga prospek menjadi matang dan investasi berdatangan.
Mendapatkan investasi tidak semudah membalikan telapak tangan. Terlebih melihat kondisi industri migas Indonesia. Hal yang dapat dilakukan untuk mengundang investasi yakni kebijakan fiskal harus atraktif dan mengadaptasi kebijakan fiskal yang ada di global untuk bisa bersaing dengan negara lain. Jika kebijakan fiskal dilonggarkan akan memberikan keuntungan bagi kedua belah pihak baik pemerintah maupun investor.
Di akhir presentasinya, Nanang menunjukkan langkah yang sedang dilakukan pemerintah untuk menyikapi permasalahan hal ini.
Gambar diatas menunjukan peta persebaran program 5 tahun yang dilakukan oleh PHE Jambi-Merang melalui Komitmen Kerja Pasti (KKP) oleh Kementerian ESDM tahun 2021. Program yang dimulai tahun 2019 dengan dana sekitar 2 miliar USD bertujuan untuk meningkatkan prospektivitas baik dengan akusisi data baru, studi, evaluasi dan reprocessing.
Reporter: Pravito Septadenova Dwi Ananta (Teknik Geologi, 2019)