Peran Sains, Filsafat, dan Agama dalam Menjaga Nilai Toleransi Masyarakat Indonesia
Oleh Adi Permana
Editor Adi Permana
BANDUNG, itb.ac.id—Dalam ruang lingkup keanekaragaman suku dan budaya pada suatu negara, persatuan menjadi hal yang penting untuk mencegah perpecahan. Salah satu upaya untuk mencapai persatuan adalah dengan membudayakan sikap toleransi.
Dalam membudayakan toleransi pada masyarakat, dibutuhkan banyak pendekatan agar sikap toleransi dapat terinternalisasi dengan baik. Beberapa subjek besar seperti agama, sains, dan filsafat menjadi modal potensial dalam menginternalisasi sikap toleranis. Gagasan inilah yang disampaikan oleh Dr. Budhy Munawar Rachman, Dosen Sekolah TInggi Filsafat (STF) Driyarkara pada Studium Generale Kuliah Umum KU-4078 ITB pada Rabu, 6 Oktober 2021.
Pada awal pemaparannya, Budhy menjelaskan luas dan besarnya Indonesia yang juga diwarnai oleh keanekaragaman suku dan budaya. Keanekaragaman tersebut tentu mewarnai kehidupan masyarakat Indonesia. Salah satu potensi warna yang diciptakan dari keanekaragaman adalah potensi untuk menciptakan beragam konflik. Indonesia pun mengalami hal serupa berupa maraknya konflik di berbagi macam daerah. Namun, yang menarik adalah masyarakat selalu setia dan bertahan dengan cita-cita besarnya, yaitu persatuan.
Budhy juga menyatakan bahwa secara global toleransi merupakan gagasan baru yang sangat modern. Mayoritas masyarakat memahami toleransi dengan penerimaan pasif terhadap seseorang. Padahal, hal tersebut bukanlah esensi utama toleransi yang ingin diwujudkan. Toleransi memiliki beberapa tingkatan yang dimulai dengan penerimaan pasif, ketidakpedulian yang lunak pada perbedaan, pengakuan perbedaan dengan sikap lebih terbuka, pengakuan terhadap hak-hak dasar seseorang, dan inklusi sosial. Inklusi sosial inilah esensi toleransi harus dicapai oleh masyarakat Indonesia.
“Inklusi sosial sendiri berarti suatu sikap untuk menerima, mendukung, merawat, dan merayakan perbedaan yang eksis di tengah masyarakat. Menurutnya, inklusi sosial ini perlu diedukasikan bahkan diberi ruang di ranah hukum demi tercapainya persatuan,” kata Budhy.
Budhy mengingatkan bahwa tidak mudah untuk membudayakan toleransi di tengah masyarakat dikarenakan banyaknya tantangan yang ada. Salah satu tantangan yang kini terasa adalah normalisasi ancaman intoleransi. Intoleransi sendiri mampu menyebabkan segregasi budaya, penurunan toleransi, dan keengganan beraktivitas apabila terdapat perbedaan di tengah masyarakat.
Untuk memperoleh nilai toleransi pada tingkatan inklusi sosial, diperlukan peran dari berbagai macam subjek yang dekat dengan masyarakat, mulai dari sains, filsafat, dan agama.
Pada akhir pemaparannya, Budhy sangat berharap sains, filsafat, dan agama mampu diimplementasikan dengan baik hingga mampu menghidupkan sikap toleransi di tengah masyarakat. “Dengannya kita mampu bertransformasi dari eksklusif ke inklusif, dari superioritas menjadi lebih memahami yang lain, menghasilkan toleransi, hingga melahirkan masyarakat inklusif,” tuturnya.
Reporter: Daffa Raditya Farandi (Kewirausahaan, 2023)