Perekat Tanin sebagai Pengganti Perekat Sintetis dalam Pembuatan Vinir Lamina

Oleh Neli Syahida

Editor Neli Syahida

BANDUNG, itb.ac.id - Hingga saat ini, industri pengolahan kayu komposit di Indonesia masih menggunakan perekat sintetis, seperti urea formaldehid dan fenol formaldehid. Perekat tersebut  memberikan emisi formaldehid yang berbahaya bagi manusia. Perekat sintetis juga membutuhkan suhu yang lebih tinggi untuk mengalami pematangan. Hal ini tentunya juga ikut berkontribusi terhadap proses pemanasan global. Selain itu, bahan baku dari perekat sintetis ini suatu saat dapat habis. Berlatar belakang dari kondisi tersebut, Ir. Sutrisno, M.Si, staf pengajar program studi Rekayasa Kehutanan ITB melakukan penelitian yang berjudul "Pengolahan Limbah Kulit Kayu sebagai Perekat Tanin dan Filler Ramah Lingkungan untuk Pembuatan Vinir Lamina dari Kayu Hutan Rakyat".

"Dari penelitian sebelumnya, telah diketahui bahwa tanin dapat digunakan sebagai perekat yang ramah lingkungan. Hanya saja belum diterapkan di industri," tutur Sutrisno. Beberapa tanaman yang telah diketahui memiliki kadar tanin yang tinggi adalah akasia dan mangrove. Dalam penelitiannya, Sutrisno mencoba screening tanaman berkayu di hutan rakyat untuk melihat kadar tanin maupun daya perekatannya. "Ada korelasi antara kadar tanin dalam suatu tanaman dengan daya perekatannya," kata Sutrisno. Beberapa tanaman yang digunakan dalam penelitian ini adalah kulit kayu sengon (Paraserianthes falcataria), jabon (Anthocepalus cadamba), gmelina (Gmelina arborea), afrika (Maesopsis eminii), manglid (Manglieta glauca), mangium (Acacia mangium), dan  karet (Hevea brasiliensis).

Proses Ekstraksi Tanin

Untuk mendapatkan tanin, kulit kayu tanaman tersebut  dipotong dengan ukuran 2 cm x 2 cm, kemudian dijemur hingga kadar air yang tersisa 15%. Selanjutnya, kulit kayu diekstraksi dengan air panas 700 C. Filtratnya diambil dan didapatkanlah tanin kasar. Tanin tersebut berikutnya digunakan sebagai perekat vinir lamina kayu karet dua lapis baik dalam bentuk tunggal maupun campuran. Selanjutnya, dilakukan uji delaminasi dengan standar Jepang (JAS). Hasil delaminasi terbaik didapatkan pada vinir lamina yang direkatkan dengan tanin ekstrak kulit kayu mangium, diikuti dengan campuran ekstrak kulit kayu mangium dan karet. "Hasil ini sudah dapat disetarakan dengan perekat sintetis urea formaldehid yang biasa digunakan di industri", kata Sutrisno.

Limbah Kulit Kayu Menggantikan Filler Tepung Terigu

Dalam pembuatan vinir lamina, filler (pengisi) biasa digunakan dengan tujuan mengurangi jumlah perekat yang dibutuhkan. Industri biasa menggunakan filler yang berasal dari tepung terigu. "Tepung terigu ini kan sayang, karena sebenarnya masih bisa digunakan," kata Sutrisno. Oleh karena itu, Sutrisno mencoba mengembangkan filler dari limbah kulit kayu gmelina dan mendesainnya dalam ukuran nano.

Proses pembuatan nano filler diawali dengan memotong limbah kulit kayu gmelina dengan ukuran 2 cm x 2 cm, kemudian dijemur hingga kadar air yang tersisa 5%. Kulit kayu yang telah kering ditumbuk dan diayak dengan ayakan berukuran 20-40 mesh. Untuk membuat serbuk menjadi berukuran nano, serbuk lebih lanjut di-milling dengan menggunakan ball milling konvensional.

Nano filler kemudian dicampur dengan perekat sintetis fenol formaldehid dengan berbagai komposisi untuk membuat vinir lamina kayu lapis tiga lapis dari kayu karet. Kayu lapis ini juga diuji delaminasi dengan standar JAS. Hasilnya, delaminasi kayu lapis yang dibuat dengan nano filler dalam semua komposisi memenuhi standar JAS.

Sutrisno menjelaskan bahwa penelitian ini masih merupakan penelitian awal. Harapannya, dari penelitian ini selanjutnya akan didapatkan komposisi perekat tanin yang paling baik, hingga dapat menggantikan perekat sintetis. "Perekat tanin yang ramah lingkungan ini diharapkan dapat menggantikan perekat sintetis," tuturnya. Lebih lanjut lagi, Ia berharap nantinya perekat alami
ini lebih dapat diaplikasikan untuk home industry.