Tjia May On: Bergerilya Menumbuhkan Budaya Riset (2)

Oleh Krisna Murti

Editor Krisna Murti

Kesan Mendalam Perjumpaan dengan Pak Tjia meninggalkan kesan yang mendalam bagi para mahasiswanya dan rekan-rekannya. Di kelas, selain dikenal akan kecemerlangannya, Pak Tjia dikenal sebagai dosen yang pandai menjelaskan. Konsep “mendongeng” benar-benar diterapkan oleh beliau dalam mengajar. “Pak Tjia selalu mengingatkan agar kita selalu ‘read behind the lines’,” ungkap Ahmad Muzayyin, mahasiswa S1 yang beliau bimbing, “Kamu tidak bisa dikatakan mengerti sebelum mengerti apa yang dimaksudkan yang ditulis.” Itu pula sebabnya Pak Tjia selalu memberikan ujian yang berbau konsep yang benar-benar menguji pemahaman mahasiswanya. Menurut Carl Albright, penasehat thesisnya di Northwestern University, Pak Tjia adalah seorang mahasiswa yang serius, tapi juga sekaligus mudah tertawa. Sifat keakraban dan kekeluargaan Pak Tjia memang diakui oleh orang-orang yang pernah berinteraksi dengan beliau. “Pernah saya sakit, dan Pak Tjia meminjamkan uang kepada saya,” kenang Ahmad. Pak Tjia memang dekat dengan mahasiswanya. Kerap beliau makan siang mie instan bersama staf laboratoriumnya dan mahasiswanya. “Kalau setiap sabtu, Pak Tjia biasanya menraktir makan di kantin SR (Seni Rupa –red.),” ujar Ahmad. Pak Tjia memang sadar betul bahwa riset bukanlah kerja perseorangan karenanya, Pak Tjia memangun komunitas laboratorium FISMOTS (Fisika Material Organik Terkonjungasi dan Superkonduktor), laboratorium yang dipimpinnya dengan semangat kekeluargaan. Inspirasi yang banyak mengena bagi orang-orang dilingkungan sekitar Pak Tjia adalah semangat untuk memberikan yang terbaik. “Pak Tjia adalah seorang yang perfeksionis,” ujar Mardiyanti, mahasiswa S2 angkatan 2001. Tapi, setiap mahasiswanya meyakini bahwa itu adalah bentuk tanggungjawab Pak Tjia terhadap amanah yang diembannya. Kepada setiap mahasiswanya, Pak Tjia selalu memberikan kebebasan berpikir. “Kalau bagus, dia pasti mendukung,” ujar Ahmad, “Kalau pun ada yang salah, dia tidak langsung menyalahkan. Tapi, mengajak berdiskusi. Akhirnya kita sendiri yang sadar bahwa kita salah.” Bentuk lain semangat akan yang terbaik diwujudkan oleh beliau dengan mengusulkan persyaratan program doktor. Pak Tjia mengusulkan bahwa lulusan doktoral harus memiliki publikasi di jurnal ilmiah internasional. Ini merupakan suatu syarat berat, terutama bagi program-program doktoral di dalam negri. Pak Tjia selalu mendorong mahasiswanya untuk maju dan melakukan berbagai usaha agar mahasiswanya berhasil. “Beliau tidak segan-segan mengusahakan dengan berbagai cara agar mahasiswanya bisa mewujudkan cita-citanya, termasuk sekolah ke luar negri,” kenang Ahmad. Bahkan, komputer milik Pak Tjia yang seharusnya ada di ruangannya dipindah ke lab. “Mahasiswa saya lebih membutuhkan dari pada saya,” tanggap Pak Tjia enteng. Riset Indonesia Jelek: Salah Sistem Ada tiga hal yang mengkerucut dalam diskusi dengan Pak Tjia, mengenai riset Indonesia yang tertinggal jauh. Semuanya mengarah pada kesalahan pada sistem riset di Indonesia. Pertama adalah memandang orang secara pragmatis, berdasarkan gelar saja. Kedua, Indonesia belum sadar akan kekuatan riset. Selanjutnya adalah paradigma pemerataan yang menyesatkan. Salah satu bentuk konsistensi beliau berkenaan dengan gelar. Saat menjabat sebagai sekretaris jurusan –satu-satunya jabatan birokrasi yang pernah diemban oleh beliau- beliau mengusulkan agar setiap papan nama staf pengajar tidak mencantumkan gelar. Hal ini sangat beliau tekankan karena pada masa ini banyak orang hanya melihat gelar saja, tanpa melihat kompetensi dan karyanya. “Zaman sekarang setelah jadi doktor, orang terus merasa jadi ‘gusti’,” tandas beliau, “Indonesia punya banyak doktor tapi banyak yang mandul!” Pak Tjia menyebutkan budaya feodal masih melekat pada bangsa Indonesia. “Kalau dulu raden atau semacamnya, sekarang ya doktor dan gelar-gelar,” ujar Pak Tjia. Di Amerika Serikat (AS), seorang ilmuwan bisa saja masuk ke dunia birokrat. Menjadi kepala NASA, misalnya. Namun, di AS, track record seorang calon kepala NASA –misalnya- benar-benar dilihat. Jadi, karya-karyanya berupa hasil penelitian atau publikasinya yang menjadi pertimbangan. Justru, bukan gelarnya. Orang yang benar-benar teruji dan berpengalaman saja yang bisa duduk di posisi strategis semacam itu. Hasilnya jelas memuaskan, kebijakan-kebijakan benar-benar mengena dan dapat membangun. Menurut Pak Tjia, hal ini menjelaskan mengapa di Indonesia, banyak kebijakan –terutama di dalam dunia sains dan teknologi- yang tidak mengena dan terkadang justru melenceng jauh. Selain itu, banyak dana riset hanya terbuang percuma karena tidak efektif dan efisien akibat orang-orang yang berkecimpung di dalamnya hanya bergelar doktor saja, tanpa karya dan kompetensi nyata. “Negara maju mana yang tidak punya kekuatan riset?” tanya Pak Tjia secara retoris. Bagi Pak Tjia, Indonesia belum menyadari kekuatan sains dan teknologi, yang berkembang melalui riset. Bagaimanapun juga, Pak Tjia tidak bisa memungkiri peran dana-dana penelitian dari pemerintah, seperti basic science dan RUT. Namun bagi Pak Tjia, dana penelitian tersebut terlalu sedikit. Pak Tjia lalu membandingkan dengan pengalaman beliau di luar negri, juga di negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia. “Biaya penelitian yang dihabiskan di satu lab di UKM (Universitas Kebangsaan Malaysia –red.) itu melebihi keseluruhan dana program RUT (Riset Unggulan Terpadu –red.) dari pemerintah,” seru beliau. Dana penelitian yang minim itu diperparah oleh paradigma pemerataan. Maksudnya, dana yang minim itu disamaratakan ke semua bidang atau kelompok. Seharusnya, kalau dana memang minim, justru harus berani selektif dan bersaing. Bagi Pak Tjia, harus ada ‘konglomerat-konglomerat’ sains dan teknologi. Artinya ada kelompok atau bidang tertentu yang benar-benar diunggulkan, didukung, dan difasilitasi. Tidak hanya itu, tetap harus ada kewajiban yang mengikat untuk membantu kelompok atau bidang lain. “Dibilang pro konglomerat? Ya, konglomerat itu memang perlu,” ujar Pak Tjia, “Di Indonesia, konglomerat itu dipandang jelek karena sistemnya salah. Konglomerat hanya membalas budi pada birokrat dan orang-orang tertentu.” Selain akan membantu mengembangkan kelompok lain, Kelompok ‘konglomerat’ sains dan teknologi inilah yang akan mampu bersaing di dunia internasional, membawa nama Indonesia tentunya. Pak Tjia memperkuat tesisnya dengan memberikan analogi. Tiap bidang itu pasti ada tokoh atau pelopornya. Di Indonesia, kita punya tokoh budayawan, Pramoedya Ananta Toer,misalnya. “Tapi, tokoh sains dan teknologi Indonesia siapa?” lagi-lagi beliau memberikan pertanyaan retoris. ‘Konglomerat’ sains dan teknologi ini akan menjadi pelopor dan tokoh sains dan teknologi bagi Indonesia. Setelah sukses, kelompok yang sudah diunggulkan ini akan mengeset standar. Mereka juga akan membantu banyak kelompok lain untuk melewati standar ini. Jadi semuanya maju! Kesimpulan ketiganya, sistem riset di Indonesia harus diubah. Pak Tjia dengan tajam mengungkapkan bahwa sistem riset di Indonesia ‘is not even rational’. Selain mengutamakan memilih orang benar-benar melihat karyanya, transparansi dan penghapusan KKN adalah salah satu yang harus diwujudkan kalau riset Indonesia mau berbenah. Tapi, pertama, Indonesia harus menyadari dulu kekuatan riset, bukan hanya demi nama baik bangsa, tapi juga demi peningkatan kesejahteraan bangsa. *** Banyak hal yang dapat digali dari pribadi Pak Tjia. Yang jelas, selama 70 tahun hidupnya, terutama selama berinteraksi di dunia akademik, beliau bukan saja telah menyumbangkan berbagai kemajuan bagi ilmu Fisika bagi tanah air dan dunia internasional. Lebih dari itu, pribadi beliau telah memberikan banyak inspirasi mengenai semangat memberi yang terbaik, keakraban dan kekeluargaan, juga hidup sederhana. Kecemerlangannya telah terekam dalam lebih dari 200 hasil penelitian yang telah dipublikasikan beliau dalam jurnal internasional. Namun, kepribadiannya yang bersemangat dan akrab akan terekam dalam pribadi setiap orang yang pernah berinteraksi dengan beliau. Tujuh puluh tahun bukanlah usia yang sedikit, tapi, Pak Tjia selalu tampak segar dan tetap melakukan yang terbaik bagi kemajuan ilmu Fisika, kemajuan ITB, dan kemajuan Indonesia walaupun dengan jalan yang bergerilya. “Saya tidak mau saat saya sudah tua, kalau saya menengok ke belakang, saya ini tidak memberikan apa-apa bagi kehidupan. Saya mau kalau saya menengok kebelakang, saya sudah memberikan sedikit bagi kehidupan ini,” kata Pak Tjia. Selamat pensiun, Pak! Terima kasih banyak atas semuanya! antonius krisna murti 13/2/05 11.11 am