Setelah Perjalanan Panjang, Akhirnya Indonesia Akan Miliki Pabrik Katalis Merah Putih

Oleh Adi Permana

Editor Adi Permana

BANDUNG, itb.ac.id--Institut Teknologi Bandung (ITB) melalui PT Rekacipta Inovasi ITB, menjalin kerja sama dengan PT Pertamina (Persero), dan PT Pupuk Kujang dalam pembangunan perusahaan patungan pabrik katalis merah putih. Penandatanganan kerja sama tersebut dilakukan oleh Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati, Plt. Direktur Utama PT Pupuk Kujang Rita Widayati, dan Direktur Utama PT Rekacipta Inovasi ITB Alam Indrawan di Kampus ITB Jalan Ganesa, No. 10 Bandung, Rabu (29/7/2020).

Pada acara tersebut dihadiri oleh Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional Prof. Bambang Brodjonegoro, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ir. Arifin Tasrif, Rektor ITB Prof. Reini Wirahadikusumah, dan undangan lainnya. Selain itu, acara ini juga diselenggarakan dengan tetap memenuhi standar protokol kesehatan dalam upaya pencegahan penyebaran COVID-19.

Kepala Pusat Rekayasa Katalis ITB, Prof. Subagjo mengatakan, perjalanan pengembangan katalis ini telah dilakukan sejak tahun 1982. Momentum kerja sama ini merupakan tonggak baru dalam pengembangan industri katalis merah putih. "Semoga peristiwa ini menjadi awal dari proses yang berujung pada pembangunan pabrik katalis merah putih, yang menghasilkan katalis-katalis yang memiliki kinerja baik, sehingga berguna bagi negara dan bangsa," ujarnya.

Ia menjelaskan, pabrik katalis berkapasitas 800 ton/tahun yang akan dibangun tersebut, adalah pabrik katalis nasional pertama di Indonesia yang 100% dikembangkan dan dibangun oleh anak bangsa. Pabrik ini berlokasi di Kawasan Industri Cikampek dan dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan katalis industri pengilangan minyak, industri kimia dan petrokimia, serta industri energi.

“Pabrik katalis ini akan mulai dibangun pada September 2020 dan diharapkan akan mulai berproduksi pada tri wulan kedua 2021," jelasnya.

Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati, dalam sambutannya mengatakan, penandatanganan ini merupakan suatu momentum yang bersejarah. Ini suatu perjalanan yang panjang sampai ke titik ini. Kebutuhan energi di Indonesia dengan jumlah penduduk yang sangat banyak terus mengalami peningkatan. Di sisi lainnya, ketersedian fossil fuel menurun dari sisi suplai. "Jadi sangat tepat ketika Pemerintah Indonesia menetapkan kebijakan untuk mulai shifting ke arah new and renewable energy," ujarnya.

Ia mengatakan, program ini perlu direspons dan dilaksanakan melalui sinergi oleh semua pihak. Pertamina sendiri telah menetapkan suatu visi ke depan untuk melakukan transisi energi dengan mengoptimalkan sumber daya alam yang dimiliki Indonesia, salah satunya sawit. "Sehingga bio energy yang akan banyak dikembangkan adalah bahan bakar sawit. Jadi ITB sangat tepat dalam mengembangkan bahan bakar bio hydrocarbon," ujarnya.

Direktur Utama PT Pupuk Indonesia Persero yang diwakili oleh Ir. Gusrizal, M.Sc., selaku Direktur Investasi PT Pupuk Indonesia, menyampaikan pesan sangat menyambut baik kerja sama pengembangan pabrik katalis merah putih yang merupakan inovasi dari ITB dan Pertamina. Ia melanjutkan, Pupuk Kujang sendiri berperan dalam penyediaan lahan dan utilitas, membantu pembangunan riset dan pengembangan, serta memberikan dukungan tenaga ahli dan SDM perusahaan.

"Kami berharap, kerja sama ini bukan hanya dapat menguntungkan semua pihak yang terlibat namun juga memberikan kontribusi besar bagi bangsa dan negara Indonesia. Seperti kita ketahui, katalis adalah jantung bagi industri kimia, dan kebutuhan katalis di Indonesia masih harus melalui impor," harapnya.

Meningkatkan Reputasi ITB

Rektor ITB Prof. Reini Wirahadikusumah mengatakan, penandatanganan kesepakatan patungan pembangunan pabrik katalis di Indonesia adalah peristiwa yang sangat penting bagi kita semua karena dua hal. Pertama karena peristiwa ini menunjukkan bahwa bangsa indonesia telah meraih kemajuan dan kesepakatan di bidang katalis sebagai teknologi proses dalam menghasilkan berbagai produk inovasi yang strategis bagi kepentingan bangsa.

Kedua, kemajuan tersebut telah melalui proses panjang lebih dari tiga dekade yang melibatkan para peneliti dan akademisi, pelaku industri bisnis, dan pemerintah. Hal ini merupakan wujud nyata dari triple helix innovation. “Belum banyak yang sukses, tetapi inilah satu model yang tentunya harus direplikasi di masa yang datang,” kata Prof. Reini.

Ia menambahkan, para peneliti di ITB terus menjalin relasi tahap demi tahap, mencari peluang-peluang, tantangan penelitian, pengembangan, pengujian, dan melibatkan banyak pihak, serta akhirnya meraih kepercayaan stakeholder. Banyak sekali keteladanan yang patut diapresiasi dalam proses tersebut.

“Saya selaku Rektor ITB, merasa bangga, bukan saja bangga tetapi terharu bagaimana perjuangan dosen akhirnya dapat bermanfaat bagi masyarakat. Perjuangan bapak-ibu dan mahasiswa, akan menginspirasi semua. Semoga hal ini menaikkan reputasi ITB untuk menyelesaikan permasalahan bangsa,” jelasnya.

Menteri ESDM Arifin Tasrif menyampaikan, ketersediaan minyak fosil diprediksi akan berkurang di tahun 2030 ke atas karena keterbatasan sumber daya, dan harganya pun akan melambung tinggi. “Mari kita dukung sepenuhnya, ada peneliti, ada industrinya, ada konsumennya. Nah ini semoga jadi cikal bakal untuk pengembangan yang lainnya,” jelasnya.

Sementara itu, Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional Prof. Bambang Brodjonegoro, mengungkapkan rasa kelegaannya karena hari ini triple helix di bidang energi nabati akhirnya bisa terealisasi. Ia menyebut, butuh kegigihan dan “kegilaan” dalam merealisasikan pabrik katalis merah putih ini. "Kita bisa menjadikan bensin nabati ini sebagai salah satu strategi nasional bersama dengan drone untuk militer dan industri garam yang terintegrasi. Semoga ITB bisa terus melakukan penelitian dan akhirnya hilirisasi di bidang bio energy," ungkapnya.

Ia mengatakan saat ini kita harus mulai berpikir jangka panjang, jangan short term. Selain itu, kita juga harus mulai berpikir sumber energi yang visible dari segi ekonomi. "ITB sudah bisa mewujudkannya, tidak banyak universitas yang bisa melakukan ini," jelas Prof. Bambang.