Dr. Haryo Satriyo Tomo: Atasi Darurat Asap dengan Cepat dan Tepat
Oleh Mega Liani Putri
Editor Mega Liani Putri
Penyebab Kebakaran Hutan
Keberadaan lahan gambut yang sudah mengalami proses rekayasa menyebabkan parahnya kebakaran hutan yang melanda beberapa daerah di Sumatera dan Kalimantan. Proses rekayasa yang dimaksud ialah tanaman yang berada di permukaan tanah tersebut sudah bukan tanaman asli gambut. Selain itu, kebakaran juga dipicu oleh kekeringan yang berarti kadar air yang berada di tanah telah turun drastis.
Dr. Haryo menjelaskan bahwa di dalam lahan tersebut (di bawah top soil) terjadi pirolisis lambat. Pirolisis adalah dekomposisi kimia senyawa organik melalui proses pemanasan hingga berubah menjadi fase gas. Beliau berujar bahwa pirolisis lambat ini sulit dideteksi karna terjadi di bawah permukaan tanah. Efek samping dari pirolisis adalah lepasnya gas ke udara kemudian berinteraksi dengan uap air sehingga membentuk kabut. Selain itu, ada saatnya pirolisis yang merambat terkespos oksigen bebas sehingga langsung menyulur kobaran api yang bisa berdampak terbentuknya asap tebal.
Praktik pembukaan lahan baru dengan membakar hutan sampai saat ini masih terjadi bahkan semakin parah. Membakar lahan dilakukan secara sistematis (oleh perusahaan industri) ataupun tidak sistematis (oleh masyarakat) karena dinilai masih lebih ekonomis dibandingkan harus menggunakan alat-alat berat. Selain itu, masih banyak persepsi masyarakat bahwa membakar lahan diperlukan untuk meningkatkan zat hara untuk kesuburan tanah.
Harus Lakukan Penanganan Cepat dan Tepat
Saat titik api sudah terbentuk atau kebakaran telah terdeteksi, Dr. Haryo berpendapat bahwa seharusnya ada usaha mematikan sumber utama api dengan segera. Teknik yang digunakan adalah membentuk ring of fire atau teknik pemutus api. Lingkaran api yang dibuat mengelilingi lahan terbakar akan mengonsumsi oksigen di udara bebas sehingga kebakaran di lahan pun menjadi paham akibat kehabisan oksigen. Walaupun masih dengan teknik sederhana, sejauh ini teknik pemutus api masih diaplikasikan di dunia.
Air diperlukan untuk memadamkan api, termasuk untuk menurunkan suhu sehingga menghambat terjadinya pirolisis. Ada harapan yang baik karena menurut Dr. Haryo kini pola angin telah mulai berhembus dari Pasifik sehingga membawa lebih banyak butir air. Diharapkan angin dapat menyebabkan hujan di daerah Barat Indonesia.
Namun, tentu tidaklah cukup bila hanya menunggu hujan alami. Hujan buatan juga sangat dibutuhkan, yaitu dengan segera mengirimkan helikopter yang bisa menyirami lahan-lahan terbakar. Selain itu, penyemprotan langsung titik-titik api diharapkan juga dilakukan oleh aparat dan masyarakat sekitar. Secara individual, masyarakat juga bisa melakukan penyemprotan secara vertikal (ke atas) di halaman rumah sehingga partikulat (butiran polutan padat) bisa terpresipitasi (turun ke bawah tanah) sehingga mengurangi konsentrasi partikulat pada ketinggian yang bisa terhirup.
Hindari Aktivitas Di Luar Ruangan atau Gunakan Mask Filter
Dr. Haryo jmerekomendasikan untuk tidak banyak beraktivitas di luar ruangan. Ventilasi udara juga harus diperhatikan sehingga udara luar tidak masuk ke dalam ruangan. Sirkulasi udara juga dapat ditingkatkan dengan penggunaan kipas angin ataupun air conditioner yang menggunakan saringan.
Bila akan keluar ruangan, Dr. Haryo menyarankan untuk menggunakan mask filter. Penggunaan masker bedah maupun masker yang berbahan kain tidak dapat mengatasi kabut asap karena tidak didesain untuk memfilter partikel dengan ukuran sangat kecil, termasuk aerosol. Masyarakat seharusnya menggunakan mask filter yang memiliki dua lapis dengan filter diantaranya. "Kabut asap mengandung partikel mikroskopis sulfat dan nitrat yang berbentuk fasa cair sangat berbahaya membahayakan saluran pernapasan. Zat ini bersifat iritan sehingga menyebabkan radang tenggorokan dan mata pedih," tutur Dr. Haryo.
Ilustrasi dari berbagai sumber