Aula Barat ITB: Bangunan Bersejarah Saksi Perkembangan Musik Jazz Indonesia
Oleh Mega Liani Putri
Editor Mega Liani Putri
BANDUNG, itb.ac.id – Malam Jazz Aula Barat pada Jumat (10/03/17) lalu mengingatkan kembali akan sejarah Aula Barat, salah satu bangunan tertua di Kampus ITB Ganesa. “Aula Barat” bukan tanpa arti menjadi lokasi sekaligus tajuk dari acara musik yang telah diadakan untuk keempat kalinya di ITB ini. Terdapat hubungan erat antara perkembangan musik jazz di Indonesia dengan Aula Barat. Bagaimana bisa ada keterkaitan di antaranya?
Mengulik Sejarah Aula Barat
Aula Barat merupakan salah satu landmark di ITB, bersama dengan kembarannya, yaitu Aula Timur yang berada di tepat di seberangnya. Kedua bangunan ini dirancang oleh arsitek berkebangsaan Belanda, Henry Maclaint Point. Aula Barat maupun Aula Timur dibangun pada tahun 1919. Hampir 100 tahun usianya, kedua bangunan ini masih berdiri kokoh dan megah hingga kini. Aula Barat terutama telah menjadi saksi banyak aktivitas seni dan budaya, termasuk musik jazz.
Pada tahun 1975, pertemuan jazz terbesar yang pernah terjadi di Indonesia diadakan di aula ini. Seniman-seniman dari Jakarta, Bandung, dan Surabaya dengan nama Pro Jazz 75 berkumpul di sana. Dua tahun berikutnya, berkumpul pula Rendezvous Indonesia All Stars. Kemudian agenda perkumpulan musisi jazz berlangsung hingga pada tahun 80-an. Salah satu penampilan yang bersejarah adalah oleh Benny Golson All Stars pada tahun 1987. Tidak hanya konser, diskusi seputar musik jazz pun diadakan di Aula Barat. Oleh karena itulah, bangunan ini memiliki identitas khusus dalam ranah musik jazz.
Awal Mula Jazz Aula Barat
Pada awal abad ke-21, gairah musik jazz sempat memudar dari Aula Barat. Beberapa pihak pun memiliki keinginan untuk mengembalikan identitas Aula Barat sebagai rumah bagi perkembangan musik jazz di Indonesia. Pada akhirnya, keinginan tersebut dapat diwujudkan pada tahun 2013. Tepat pada awal April 2013, Jazz Aula Barat pertama digelar dengan menghadirkan salah satu dari trio super kuratornya, yaitu mendiang Riza Arshad, the #3scapes. Gelaran kedua dilangsungkan pada April 2016, menghadirkan kelompok ethno-jazz progresifnya yang telah diakui dunia, yaitu simakDialog. Edisi ketika diadakan pada penghujung tahun 2016 dengan bintang utama Mery Kasiman Big Band.
Jazz Aula Barat ini berfokus untuk mempersembahkan sebuah konser musik jazz dengan kualitas optimal baik dari segi musikalitas maupun penyajiannya. Dari segi musikalitas, kualitas optimal ini merupakan hasil eksplorasi daya kreasi dari musisi itu sendiri. Selain itu, musisi tersebut telah melewati proses kurasi dari kurator Jazz Aula Barat. Tujuannya adalah untuk menjaga agar nilai kreasi musik yang dibawakan tetap berada pada nilai musikalitas yang dipegang oleh para musisi jazz dunia. Diharapkan pula musisi yang tampil memang terbukti berdedikasi pada musik jazz dan mempunyai keunikan tersendiri yang berbeda dengan musisi jazz lainnya. Dari segi penyajiannya, kualitas optimal diusahakan tercapai dengan menitikberatkan pada tempat pertunjukannya, yaitu Aula Barat dan penguasaan teknologi yang berhubungan dengan pertunjukan musik.
Jazz Aula Barat Ke-4
Jazz Aula Barat yang ke-4 kemudian menghadirkan Nita Aartsen Quatro, didukung oleh musisi berkebangsaan Perancis Jean Sebastien serta dua musisi Indonesia lainnya, yaitu Adi Darmawan dan Jalu G. Pratidina. Konsep musik yang mereka bawakan pada malam itu adalah campuran musik timur dan barat dengan sentuhan tradisional Indonesia. Penampilan perdananya di Aula Barat ini sangat berkesan bagi Nita Aartsen karena sebelumnya diundang oleh Riza Arshad, inisiator Jazz Aula Barat sekaligus alumni ITB yang berpulang kepada Tuhan YME beberapa bulan yang lalu. Sebagai tribut kepada mendiang Riza Arshad, Nita dan kawan-kawan pun mempersembahkan lagu Melati Suci.