FGD FGB ITB Bahas Penguasaan Teknologi Baterai untuk Revolusi Kendaraan Listrik

Oleh M. Naufal Hafizh

Editor M. Naufal Hafizh

BANDUNG, itb.ac.id – Forum Guru Besar, Institut Teknologi Bandung (FGB ITB) menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) bertema "Peran ITB dalam Industri Baterai untuk Electric Vehicles (EV)", Jumat (31/5/2024).

Dosen Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara (FTMD) ITB, Dr. Bentang Arief Budiman, S.T., M.Eng., menyampaikan materi berjudul “Penguasaan Teknologi Baterai untuk Menyambut Revolusi Kendaraan Listrik”.

Beliau menekankan urgensi pengelolaan industri otomotif secara holistik di Indonesia. "Sebagai negara dengan ekonomi yang bergantung pada distribusi logistik dan perpindahan masyarakat, kita harus memaksimalkan potensi industri otomotif," katanya.

Beliau mengatakan, potensi pasar otomotif Indonesia terus berkembang. Jumlah kendaraan di Indonesia terus meningkat setiap tahunnya. Hal tersebut menjadi peluang besar untuk mengembangkan industri otomotif dalam negeri, termasuk industri baterai EV.

Namun, saat ini Indonesia masih berfokus pada manufaktur dan perakitan. Riset dan pengembangan, khususnya di bidang desain dan prototipe, masih banyak dilakukan di luar negeri. Adapun revolusi kendaraan listrik dapat menjadi momentum bagi Indonesia untuk mengubah hal tersebut. "Revolusi ini didorong oleh semakin ketatnya regulasi emisi, meningkatnya teknologi baterai, dan menurunnya biaya produksi dan perawatan kendaraan listrik," ujarnya.

   

Beliau membahas sejumlah riset yang dilakukan di ITB terkait baterai kendaraan listrik, meliputi:

• Pengembangan baterai dengan proteksi tinggi: Riset ini fokus pada pengurangan risiko thermal runaway dan impact damage pada baterai. Dr. Bentang dan timnya mengembangkan metode homogenisasi untuk meningkatkan kekuatan dan kekakuan baterai, serta melakukan pengujian terhadap ketahanan baterai silinder terhadap beban impact;

• Pengembangan sistem pendingin baterai: Tim ITB mendesain sistem pendingin air dan cairan untuk menjaga temperatur baterai agar optimal dan meminimalkan degradasi kinerja baterai;

• Teknologi integrasi kendaraan listrik: ITB telah melakukan riset dan pengembangan berbagai komponen kendaraan listrik, seperti motor listrik, inverter, dan sistem kontrol, dengan target TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri) mencapai 90%;

Crashworthiness design: ITB melakukan riset dan simulasi untuk memastikan keamanan baterai kendaraan listrik saat terjadi kecelakaan. Fokusnya adalah untuk melindungi baterai dari benturan dan mencegah terjadinya short circuit;

• Pengembangan baterai masa depan: ITB tengah melakukan riset terhadap Solid State Battery (SSB), baterai generasi baru yang lebih aman dan memiliki efisiensi energi yang lebih tinggi. Tim ITB pun meneliti teknologi Functional Gradient Materials (FGM) untuk meningkatkan ketahanan mekanis SSB dan meminimalkan risiko retak.

Dr. Bentang mengatakan, kolaborasi antara akademisi, industri, dan pemerintah sangat penting untuk mendorong pengembangan industri baterai EV di Indonesia. "Dengan dukungan dari berbagai pihak, kita bisa memaksimalkan potensi industri baterai EV dan menjadikan Indonesia sebagai pemain kunci di pasar global," ujarnya.

   

Sementara itu, Adhietya Saputra, perwakilan dari Indonesia Battery Corporation (IBC), membahas peran strategis IBC dalam pengembangan ekosistem baterai EV terintegrasi di Indonesia. IBC didirikan dengan tujuan untuk memanfaatkan potensi sumber daya nikel di Indonesia sebagai komponen kunci dalam industri baterai EV.

"Konsepnya adalah kita melakukan hilirisasi dari apa yang kita punya. Kita ber-partner, kita mengembangkan, dan kita melakukan komitmen untuk mengindustrialisasi nikel hingga menjadi produk baterai, sekaligus mendorong industri terkait di Indonesia," ujarnya.

Beliau menekankan pentingnya membangun rantai pasokan terintegrasi, mulai dari pertambangan hingga produksi baterai. Hal itu karena sebagian besar komponennya masih diimpor.

   

Dalam menghadapi persaingan global, terutama dari Tiongkok, Adhietya mengungkapkan strategi IBC dalam membangun pasar dan membangun kemitraan dengan Original Equipment Manufacturer (OEM) untuk menjamin penggunaan baterai produksi dalam negeri. "Kita melihat peluang besar untuk menjadi pemimpin di pasar baterai EV, setidaknya di Asia Tenggara. Untuk itu, kita fokus mengikat OEM agar mereka menggunakan baterai buatan kita," ujarnya.

IBC sendiri merupakan perusahaan holding BUMN yang dibentuk untuk mendorong pengembangan industri baterai terintegrasi. Perusahaan ini memiliki ambisi untuk memproduksi baterai hingga 50 GWh, yang tidak hanya untuk ekspor, tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan domestik.

"Indonesia memiliki sumber daya mineral yang melimpah, tidak hanya untuk Lithium-ion, tetapi juga untuk Sodium-ion dan tembaga. Kita perlu mengembangkan industri untuk memanfaatkan potensi ini secara maksimal," tuturnya.

Meskipun IBC fokus pada pengembangan hilir, Adhietya mengakui pentingnya pengembangan upstream, terutama dalam hal pengembangan teknologi dan infrastruktur. "Proses pengembangan upstream membutuhkan waktu yang cukup panjang, sekitar 4-5 tahun. Namun, kita tidak bisa hanya fokus pada hilir, kita juga harus mendorong pengembangan industri kendaraan listrik itu sendiri," ujarnya.

Beliau menyampaikan, perlu adanya dukungan dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, perguruan tinggi, dan investor, untuk memaksimalkan potensi industri baterai EV di Indonesia. "Tantangan utama yang kita hadapi adalah sumber daya manusia, infrastruktur, dan investasi. Kita butuh kolaborasi untuk mengatasi tantangan ini," katanya.

Baca Juga: Pengembangan Fasilitas China-Indonesia Joint Research Laboratory for New Energy Materials and Metallurgical Engineering Technology di ITB Kampus Jatinangor

Reporter: Hafsah Restu Nurul Annafi (Perencanaan Wilayah dan Kota, 2019)


scan for download