PRIMA 2023: ITB Bersama Kemendesa Berkomitmen Tuntaskan Desa Tertinggal Indonesia di 2030 Melalui Pengabdian Masyarakat

Oleh Anggun Nindita

Editor Anggun Nindita

BANDUNG-itb.ac.id. Kantor Wakil Rektor Bidang Riset dan Inovasi Institut Teknologi Bandung (WRRI ITB) mengadakan Pameran Riset, Inovasi, dan Pengabdian Masyarakat (PRIMA), pada Rabu (20/12/2023). Acara diselenggarakan secara luring di Aula Barat dan Aula Timur ITB serta dapat disaksikan secara virtual di Kanal YouTube Institut Teknologi Bandung.

Pada kesempatan ini terdapat pula acara diskusi santai yang terbagi menjadi empat topik, di antaranya mengenai penelitian, pengabdian masyarakat, inovasi, serta pusat penelitian/startup. Pada sesi diskusi pengabdian masyarakat, Sekretaris Bidang Pengabdian Kepada Masyarakat LPPM ITB Denny Willy Junaidy, S.Sn., M.T., Ph.D., ditunjuk sebagai moderator.

Diskusi Pengabdian Masyarakat mengundang empat narasumber utama di antaranya, Direktur Penyerasian Pembangunan Sosial Budaya dan Kelembagaan Dr. Dimposma Sihombing, S.Sos., M.AP., Kepala Pusat Penyusunan Keterpaduan Rencana Pembangunan Desa, Desa Tertinggal, dan Transmigrasi La Ode Muhajirin, S.IP., M.Si., Dosen Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian ITB Arif Susanto, S.T., M.T., dan Dosen Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan ITB Dr. Ir. R. Budi Sulistijo, M.App.Sc.

ITB senantiasa berupaya untuk berinovasi dan memberi manfaat kepada masyarakat khususnya melalui pengabdian masyarakat. Komitmen ini membuahkan hasil nyata melalui kerja sama antara ITB dan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (PDTT) pada 10 Februari 2023 karena menunjukkan ITB dipercaya berkolaborasi menyukseskan program pemerintah terkait penuntasan Desa Tertinggal khususnya di daerah 3T.

Dimposma Sihombing menyampaikan bahwa berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, menargetkan untuk menuntaskan sebanyak 25 Kabupaten dari 62 Kabupaten di Daerah Tertinggal yakni di Provinsi nusa Tenggara, Maluku, Sulawesi, dan Papua. Realisasi kerjasama ITB dan PDTT kurang lebih 10 bulan telah berhasil menuntaskan daerah tertinggal di Maluku Utara dan Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan total 8 kabupaten dan 30 desa tertinggal.

La Ode menjelaskan bahwa jumlah desa di Indonesia kurang lebih 75.265 dengan status sangat tertinggal itu masih mendominasi, status tertinggal, status berkembang, status maju dan mandiri. Hanya tiga provinsi yakni Jawa, Bali dan Sumatra yang berstatus maju dan mandiri. La Ode menargetkan 62 desa tertinggal akan tuntas di tahun 2030.

“91% wilayah Indonesia adalah desa, dan 43% penduduk Indonesia berada di Desa sehingga banyak persoalan yang butuh penyelesaian ada di desa,” ungkapnya.

Kerja sama yang dilakukan juga berlandaskan PP No. 78 Tahun 2014. Kemendesa bertugas untuk mengelaborasikan program di daerah tertinggal di bidang Sosial Budaya, Sarana dan Prasarana, Sumber Daya Alam, dan Pembangunan Daerah Khusus.

“Kerja sama ini juga menjadi salah satu upaya mempercepat pengentasan desa-desa yang berstatus sangat tertinggal dan tertinggal dengan melakukan kolaborasi,” tambahnya.

Guna menyelesaikan suatu permasalahan tentu dibutuhkan perencanaan yang matang. Salah satu instrumen yang digunakan untuk menyusun perancangan yakni menggunakan Suistainable Development Goals (SDGs) desa yang memuat 18 tujuan. SDGs Desa juga diadaptasi dari SDGs nasional mengingat 11 tujuan SDGs nasional berkaitan erat dengan kewilayahan desa.

Kerja sama ITB dan PDTT juga berfokus pada keterpaduan dan sinergitas program dalam rangka percepatan pencapaian SDGs Desa berbasis teknologi tepat guna di lokasi 3T. La Ode menjelaskan bahwa pemilihan Desa Tertinggal tidak sembarang pilih, tetapi juga mempertimbangkan lokus yang diselesaikan dengan Indeks Desa Membangun (IDM). Lalu, dapat diketahui potensi yang dapat dikembangkan dan menguntungkan untuk dibangun serta urgensi kebutuhan di desa tersebut.

Perencanaan yang matang tentu tidak akan berjalan tanpa adanya dana. LPPM ITB telah mempertimbangkan Environmental, Social, Government (ESG) dalam operasinya sebagai upaya menyediakan air bersih yang berkelanjutan dan dibuktikan dengan serangkaian program guna mendukung kemandirian air di 3T. Budi Sulistijo berpendapat guna mewujudkan program yang berkelanjutan dibutuhkan kolaborasi empat pilar yakni Perguruan Tinggi, Kemendesa, perusahaan/sponsor, dan warga.

“Besar kecilnya dana dapat men-trigger usaha peneliti untuk menyediakan air bersih dan memertimbangkan dampak lingkungan, sehingga pengabdian masyarakat benar-benar dari masyarakat dan untuk masyarakat,” tuturnya.

Arif Susanto menyebutkan beberapa program yang sudah dijalankan oleh LPPM ITB terkait pengabdian masyarakat di bidang penyediaan air bersih di antaranya, Desa Gurimonearu, Desa Wadumaddi, dan Desa Manleten Kabupaten Sabu Raijua di NTT, Desa Pangalengan di Kabupaten Bandung, Desa Geyongan di Cirebon serta wilayah terdampak Gempa Cianjur.

Arif menjelaskan bahwa kegiatan yang dilakukan berlandaskan SDGs Desa nomor 6 yakni desa layak air bersih dan sanitasi. Kegiatan dimulai dari survei geologi, hidrogeologi, hingga eksekusi. ITB berkomitmen untuk meningkatkan dan mendukung kegiatan ini guna tercapainya target penuntasan Daerah Tertinggal di 2030.

Reporter: Pravito Septadenova Dwi Ananta (Teknik Geologi 2019)